Maka saya merekrut pekerja terampil dari warga lokal, yang akan digabung dengan tukang kepercayaan dari Bogor. Juga menggunakan jasa pak RT sebagai pemasok bahan alam (batu, split, pasir, bata merah). Ia menjamin kesesuaian kubikasi barang dikirim.
Tidak menjadi soal harga sedikit lebih tinggi dari umumnya harga suplier kota Bandung. Saya lebih menimbang hubungan baik dengan pak RT yang juga menjadi tokoh disegani.
Selain itu, saya membayar sewa sebagian rumahnya sebagai tempat bermalam. Juga memesan konsumsi tiga kali sehari untuk seluruh tim selama proyek.
Ternyata apa yang saya harapkan berjalan baik. Kinerja tukang dari warga lokal sangat memadai. Volume barang dikirim oleh pak RT memenuhi syarat. Tempat tinggal memang seadanya, tapi makanan disajikan cukup secara jumlah maupun gizi. Sesuailah dengan bujet digelontorkan.
Lebih menyenangkan lagi, hubungan dengan warga berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Saya dan tim pekerja tidak menaruh batas kaku dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Jauh setelah proyek selesai, saya berkunjung ke Kampung Cihargeum. Mengantar anak saya dan dua temannya yang ingin menyaksikan keindahan Tebing Keraton. Tiba di sana, jip saya merupakan satu-satunya kendaraan roda empat yang bisa mencapai kampung paling pucuk itu.
Biasanya mobil wisatawan hanya boleh sampai Warung Bandrek, perjalanan selanjutnya memakai jasa ojek yang ongkosnya aduhai. Rupa-rupanya preman-preman Warung Bandrek masih mengingat Jimny hitam pelat nomor F tersebut.
Tidak hanya itu saat di loket pintu masuk, petugas tidak mau menerima pembayaran dari saya. Gratis masuk untuk empat orang.
Lantas, apa hubungannya antara Sustainable & Responsible Travel dan proyek di Tebing Keraton?