Pemilik bisnis bisa saja merasa ditodong, ketika pengulas produk hendak membayar pakai exposure. Atau menukar dengan keuntungan produk yang dipopulerkan oleh influencer.
Seorang food vlogger merasa pemilik rumah makan tidak menghargai profesinya. Meskipun ia telah menunjukkan jumlah followers, pihak restoran tidak menjamu sesuai dengan harapannya. Keluhan yang terkesan mengharapkan jamuan gratisan itu sontak mendapat sorotan tajam dari warganet, kalau tidak mau dibilang kritik. (Berita selengkapnya di sini).
Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan exposure?
Saya sedikit tahu bahwa istilah exposure berkaitan dengan fotografi. Ditemukan juga dalam dunia investasi dan bisnis.
Namun, katanya, exposure juga berkenaan dengan keuntungan berkat kegiatan influencer, yang mempopulerkan produk atau brand satu produk bisnis. Pendapat ini saya tafsirkan bebas dari definisi yang disampaikan di sini.
Sedangkan influencer sendiri mengacu kepada orang atau entitas yang memiliki kemampuan mempengaruhi opini dan perilaku pengguna media sosial (sumber).
Rasanya saya sudah mulai mengerti, apa sih yang diributkan?
Branding. Bagi pemilik usaha, branding berkaitan dengan citra dibangun dan kredibilitas bisnis secara menyeluruh. Demikian agar perusahaan dapat menancapkan kesan mendalam di kepala audiens, tentang barang dan jasa ditawarkan.
Kegiatan itu meliputi: iklan produk, memasang papan nama, menunjukkan eksistensi, dan segala upaya peningkatan kesadaran pemirsa terhadap produk hingga jenama.
Kesadaran penonton (di zaman sekarang berkembang yang namanya followers) dibangun dengan adanya liputan berupa fotografi, videografi, dan narasi tentang produk. Dulu ditayangkan di televisi. Kini di media sosial.