Maka, daging bebek lebih banyak mengandung kolesterol daripada ayam. Ditambah pula proses pematangan dengan cara digoreng. Diketahui bahwa bahan pangan digoreng mengandung lemak trans, yang mesti dihindari oleh penderita kolesterol tinggi.
Alhasil, bebek goreng sebetulnya adalah makanan pantang bagi saya, yang sedang berperang melawan kelebihan kolesterol dan trigliserida. Memang pada pemeriksaan terakhir, kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida sudah berada di bawah ambang batas. Namun bukan berarti bisa bebas makan semaunya. Tidak begitu.
Dilematis. Satu hal kepingin merasakan lagi nikmatnya makan bebek. Di sisi lain ancaman kenaikan kadar kolesterol dan trigliserida tinggi membayangi.
Baiklah. Seusai salat magrib saya mengiris sepertiga potongan bebek goreng. Saya kira tidak lebih dari 50 gram. Dimakan bersama nasi merah setelah diberi sedikit sambal hitam dan ijo serta lalap.
Meski berserat, daging bebek terasa empuk ketika digigit. Rupa-rupanya bebek telah direbus lama dalam bumbu-bumbu.
Sambal ijo adalah cabai hijau gerus, ditumis bersama bumbu yang tidak saya ketahui. Sedangkan sambal hitamnya istimewa.Â
Dugaan saya, ia adalah cabai tumbuk dan bumbu, diolah dengan kelapa parut yang disangrai, dihaluskan, lalu ditumis. Pedas yang gurih banget, tapi saya tidak berani tambah. Berminyak!
Sudahlah. Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana lezatnya bebek goreng berikut sambalnya, kendati saya hanya mencicipi sedikit.
Jadi, pada kesempatan buka puasa Sabtu kemarin saya sedikit mencoba bebek goreng. Rasa penasaran sudah ditebus. Selebihnya saya makan seperti biasa: nasi merah, sayur mentah dan rebus, serta tempe tahu kukus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H