Aku merasakan matahari membakar.
Sebagian besar rumput meranggas. Tumbuhan berbatang keras dengan lingkaran tidak terlalu besar gagal menaungi tanah luas.
Daun kering. Gugur. Udara gersang mengambang.
Keringat datang berbondong-bondong. Memancar turun dari wajah-wajah manusia segala umur segala lapisan. Sebagian berduka. Sebagian bersuka. Sebagian berpura-pura.
Suasana pasar meramaikan lingkungan yang sehari-hari diisi sepi. Yang sesekali dihuni kicau burung pagi dan lolong anjing ketika temaram tiba.
Di beberapa sudut strategis mendadak muncul penjual makanan, minuman, dan kusuma. Orang-orang membuka lapak pada jalan masuk, lintasan keluar, gang yang dilewati pengunjung, dan tempat-tempat parkir.
Boleh jadi sebahagian dari pedagang, sebelumnya adalah ibu rumah tangga. Bisa juga pria pengangguran yang baru dipecat dari pabrik tahu atau baju yang ada di sekitar kawasan.
Kedatangan banyak wajah asing mendatangkan rezeki bagi warga setempat yang akrab dengan sepi. Mendatangkan senang bagi mereka yang terlanjur berada dalam sunyi nan gulita.
Rombongan kemudian berpencar. Masing-masing mencari tempat berdiam.
Berjingkat. Melompati sesuatu. Kesandung lalu terjerembap, sehingga celana dan baju ternoda tanah kering, bukan berlumur lumpur.
Satu rombongan menghampiri. Sebagian aku kenal, selebihnya belum tahu sebab mereka terlalu kecil. Namun dari balik rasa heran, aku tidak bisa menyembunyikan senang.
Kemarau di luar sana memang bikin meradang, tapi aku bangga.Â
Berkeringat-keringat mereka datang. Menjengukku, bersimpuh, dan memanjatkan segala doa.
"Terima kasih, ya. Meskipun matahari membakar, kalian sudah bersusah-susah menjenguk."
Aku tahu mereka tidak mendengarku. Seperti halnya kemboja yang tidak mampu menahan sinar matahari membakar mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H