Ternyata urusan tidak lama. Pukul setengah sembilan kaki meninggalkan Puskesmas. Pulang. Menjelajah keluar masuk gang seperti biasa.
Singgah di sebuah kedai gado-gado. Bu Ikem, pemilik warung, menyambut gembira. Betapa saya berbulan-bulan tidak mengunjungi tempat adem itu.
"Gado-gado no lontong, sedang (pedasnya)."
Seorang pria kurus di bangku seberang asyik menggigit tempe goreng.
Saya minta izin menggeser barang dagangannya. Sebuah plastik bening tampak tidak mulus. Sepertinya ia terlalu sering digunakan untuk mewadahi koran.
Saya menarik satu eksemplar. Dua lembaran dua ribu berpindah ke tangan pengecer surat kabar itu.
Loper koran. Belakangan, saya jarang menjumpai mereka. Terakhir melihat ada dua loper koran melintas di dekat rumah. Menjajakan dagangan dengan berjalan kaki. Entah sejauh mana.
Kepada loper koran baru ditemui, saya berlaku bak jurnalis abal-abal. Iya! Lupa tanya nama, tinggal di mana, dan banyak lagi.
Loper koran bertutur, setelah waktu subuh ia membeli 30-40 terbitan pada agen besar di alun-alun. Memilih harian yang sekiranya laris di pasaran.
Dulu tidak begitu. Ia sempat mengambil 100 eksemplar setiap pagi. Tanpa modal terlebih dahulu. Sebagian hasil penjualan diserahkan kepada bandar, sisanya dibawa pulang.
Namun keadaan berubah. Orang lebih menyukai memandang dunia melalui layar telepon pintar, daripada mencari berita dengan membentangkan kertas lebar berbau khas.Â
Dengan benda mungil itu pula orang bisa melakukan banyak hal: berkomunikasi, menonton, bermain, bersenda gurau, dan ihwal yang silakan Anda lanjutkan sendiri.
Koran ia jual dengan harga rata-rata Rp4000 per eksemplar. Darinya mengambil untung Rp1500-2000.
"Habis?"
"Insyaallah."
Kalau tidak habis?
Loper koran mengaku, sisa dijual ke warung menjadi kertas pembungkus. Atau dikumpulkan sampai cukup untuk dikilo.
"Pak, gorengan ambil lagi. Boleh juga pesan gado-gado atau lontong bumbu. Saya yang bayar."
Pak loper koran hanya mengambil satu tempe dan minta minum ke Bu Ikem.
Habis itu, ia pamit untuk berkeliling lagi dalam radius yang menurut ukuran saya jauh banget.
Pria kurus sedang berjuang itu merupakan sekrup terkecil, dari mesin mbrebet industri media cetak. Moga-moga dagangannya laris manis tanjung kimpul. Aamiin.
Lama setelah itu merambat rasa sesal di dalam dada, kenapa saya tidak membungkus gorengan atau makanan untuk bekal perjalanan sang loper koran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H