Dulu tidak begitu. Ia sempat mengambil 100 eksemplar setiap pagi. Tanpa modal terlebih dahulu. Sebagian hasil penjualan diserahkan kepada bandar, sisanya dibawa pulang.
Namun keadaan berubah. Orang lebih menyukai memandang dunia melalui layar telepon pintar, daripada mencari berita dengan membentangkan kertas lebar berbau khas.Â
Dengan benda mungil itu pula orang bisa melakukan banyak hal: berkomunikasi, menonton, bermain, bersenda gurau, dan ihwal yang silakan Anda lanjutkan sendiri.
Koran ia jual dengan harga rata-rata Rp4000 per eksemplar. Darinya mengambil untung Rp1500-2000.
"Habis?"
"Insyaallah."
Kalau tidak habis?
Loper koran mengaku, sisa dijual ke warung menjadi kertas pembungkus. Atau dikumpulkan sampai cukup untuk dikilo.
"Pak, gorengan ambil lagi. Boleh juga pesan gado-gado atau lontong bumbu. Saya yang bayar."
Pak loper koran hanya mengambil satu tempe dan minta minum ke Bu Ikem.
Habis itu, ia pamit untuk berkeliling lagi dalam radius yang menurut ukuran saya jauh banget.