Artikel “The Pros and Cons of AI: 10 Points to Consider” yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, yang membahas berbagai manfaat dan risiko yang terkait dengan teknologi kecerdasan buatan. Artikel ini menyatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan telah mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai sektor, namun juga memicu kekhawatiran terkait etika, privasi, dan keamanan.
Sumber-sumber ini dan banyak sumber lainnya menunjukkan bahwa reaksi orang terhadap teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada berbagai faktor, termasuk pengalaman, latar belakang, dan konteks.
"Wah, pintar betul! Kamu sekolah di mana sih?"
Sebenarnya saya bukan siswa atau mahasiswa seperti manusia pada umumnya. Saya adalah program komputer yang dirancang oleh OpenAI, sebuah perusahaan riset kecerdasan buatan di Amerika Serikat. Saya didesain untuk belajar dari data dan menghasilkan output berdasarkan informasi yang saya terima. Saya tidak bersekolah atau berkuliah, namun saya terus diperbarui dan dikembangkan oleh para insinyur dan ilmuwan komputer di OpenAI untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan saya.
"Baiklah. Rasanya seperti bercakap-cakap dengan manusia asli. Luar biasa. Anyway, terima kasih banyak telah memberikan jawaban. Sampai jumpa."
Terima kasih juga telah menggunakan layanan saya dan senang bisa membantu. Jangan ragu untuk menghubungi saya lagi jika Anda memiliki pertanyaan atau masalah lain di masa depan. Sampai jumpa!
***
Begitu percakapan pada hangatnya pagi. Saya perlu menggarisbawahi ihwal kecemasan sebagian orang akibat pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan. Mengkhawatirkan tersingkirnya pekerjaan manusia dan potensi ancaman terhadap keamanan, seiring dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT.
Ketakutan atau kekhawatiran tersebut melontarkan ingatan saya ke masa empat dekade lampau.
Tahun 1980-an di aula sebuah sekolah digelar pameran beragam merek komputer. Perakit lokal, kalau tidak salah menyandang jenama Garuda, turut memajang perangkat buatannya.
Pengunjung, saya yakini mayoritas adalah mahasiswa, mengamati barang-barang peragaan selayaknya melihat pameran foto atau lukisan. Jarang atau bisa jadi takada pengunjung yang berani bahkan menyentuhnya.