Besok mereka akan naik ke dukuh di atas kampung tempat mereka singgah sekarang. Negeri di atas awan!
Dukuh yang kala sore berkabut. Ketika matahari menggeliat, dikelilingi awan mengapung seolah mengusung. Itulah tujuan mereka.
Tidak melalui jalan memutar, apakah dengan berjalan kaki atau menumpang ojek, seperti yang biasa dilakukan oleh orang kampung, tetapi akan menerabas tebing perawan yang belum dijamah oleh pemanjat tebing mana pun.
Ditarik garis lurus, jaraknya tidaklah jauh. Namun pada sebagian tebing dengan kemiringan lebih dari 45 derajat merambat batu-batu, di antara rerumputan dan tanaman perdu. Tantangan berat bahkan bagi pemanjat tebing berpengalaman.
Perlu peralatan pendukung. Butuh stamina prima, kekuatan, ketangkasan, kelenturan, kecerdikan individual, dan kekompakan tim.
Kerja sama tim harus apik, terutama untuk menaiki tebing di mana belum ada jejak pemanjat sebelumnya. Belum ada paku tebing, baik piton yang menancap di retakan sempit berbatu maupun celah lebih lebar.
***
Pagi cerah. Telah berangkat dengan penuh percaya diri anak-anak muda berpakaian ganjil, menggunakan helm, dan bersepatu dengan daya friksi tertentu agar menapak di dinding tebing.
Warga kampung berpakaian seadanya berjalan mengiringi di belakang mereka. Hendak menonton peristiwa langka, bagaimana orang kota memanjat tebing menggunakan peralatan bagus.
Tiba di titik mulainya pemanjatan, anak-anak muda berpakaian ganjil beristirahat. Mengamati rute yang sekiranya bagus untuk dipanjat. Membahas segala kemungkinan. Tibalah pada satu kesimpulan yang membuat mereka saling berpandangan.
Siapa menjadi leader? Atau pemanjat pendahulu yang memalu paku tebing dan memasang tali pengaman?