Wanita itu seorang istri tersiksa jiwa raga akibat suaminya ketahuan memiliki wanita idaman lain. Renita sangat membenci pelakor yang telah merebut suaminya, Romario.
Satu waktu Renita mengeluhkan perangai suaminya yang berubah drastis. Kerap berkata keras. Seringnya memukul. Pangkal perkaranya adalah wanita idaman lain.
Pada malam ketika suaminya pulas, Renita mengusap layar. Percakapan antara Romario dengan wanita yang diduga selingkuhan terjalin mesra.
Kala matahari baru mendelik, Renita mendamprat Romario. Histeris menggugat isi percakapan. Tentu saja suami buaya darat itu menyanggah. Suara keras melemparkan bentakan.
Marah tidak terkendali. Tanpa menyadari tangannya berkali-kali menyentuh pipi mulus Renita. Bukan mengusap lembut, tetapi menampar keras.
Pagi merah dengan atmosfer amarah. Tanpa mengeluarkan barang satu kata Romario membanting pintu. Pergi entah ke mana.
Renita mengusap pipi memerah. Menahan tangis menekan nama seorang pria di layar. Di rumah lain telepon genggam bergetar.
“Rudolfo, hikz. Bajingan itu memukul lagi,” lantas Renita berkicau panjang lebar tentang persoalan rumah tangganya.
Tak perlulah diurai, kisah yang diceritakan berulang-ulang kepada Rudolfo yang mulai bingung.
Satu hal, halaman 168 buku “Become a Lovely Playboy” edisi terbatas menyebutkan, ketika seorang wanita bersuami membeberkan masalah rumah tangganya, maka jalan hanya untuk berdua bahkan ke nirwana terbuka lebar.
Hal lain, nurani melarang Rudolfo mendekati wanita milik pria berbeda.
Renita menyampaikan keluh kesah. Dada membendung sesak ambrol membanjiri nestapa. Mengisi retakan isak dengan air melimpah.
Rudolfo mendengar. Sesekali menimpali. Sesekali menjauhkan telepon genggam yang mulai panas dari telinga. Membiarkan Renita berbicara dengan udara.
Satu jam atau lebih pembicaraan berlangsung. Rudolfo menangkap inti kisah, Renita demikian sakit hati dengan perselingkuhan Romario. Sumsumnya menyimpan benci dan dendam kepada wanita biadab yang merebut hati dan tubuh suaminya. Pelakor!
“Bisa tolong dicari?”
“Aku usahakan, tapi tidak janji,” kelit Rudolfo.
Sampai dengan waktu lumayan lama, pria jomlo tersebut tidak menerima telepon dari Renita. Ia berharap, rumah tangga mereka membaik. Tidak ada pelakor. Rukun nihil kekerasan. Say no to KDRT.
Tidak demikian. Berita terakhir mengatakan, Renita menceraikan Romario. Bukti kekerasan fisik menjadi alasan kuat.
Rudolfo menarik napas lega. Paling tidak, kelak wanita itu menelepon hanya membincangkan soal-soal ringan dan menyenangkan. Taklama telepon genggam bergetar. Layar menuliskan nama Renita.
“Hai, Rudolfo. Lama nian kita tidak ngobrol. Eh, tahu enggak kalau aku sudah lama pisah.”
“Asyik. Sudah tiba masa aku pedekate ke kamu dong,” sergah Rudolfo.
“Hahahaha... Bisa aja kamu cari kesempitan dalam kesempatan. Maksudnya, nelpon ini sebenarnya aku mau cerita.”
Rudolfo menepuk dahinya. Mulai lagi dah macan betina ini berkeluh kesah.
“Begini. Aku mengenal seseorang pria ganteng, penuh perhatian, baik hati, lembut pula. Beberapa kali perjumpaan dan makan malam. Sampai saat candlelight dinner merayakan valentine....”
“Aku mendengarkan.”
Suara berbunga-bunga merambat melalui udara mematuk telinga Rudolfo.
“Ya, pria ganteng itu melamarku untuk jadi istrinya...!”
Rudolfo merasa sebagian dari jiwanya copot, “kamu dan pria itu..., ergh, sudah melakukan .....anu?”
“Lha kan kita berdua sudah sama-sama dewasa....”
“Aku mendengarkan.”
“Aku menerimanya. Dengan itu, apakah aku harus melakukan pernikahan secara diam-diam atau terbuka?”
“Ya terbuka dong! Jadi banyak orang tahu.”
Di seberang sana Renita menarik napas, “boleh aku curhat? Ada satu masalah sangat serius.”
“Aku mendengarkan.”
“Pria itu punya istri.....“
Rudolfo menjauhkan telepon genggam dari telinga. Membiarkan Renita berbicara dengan udara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H