Delapan tahun lalu terserang stroke. Tubuh bagian kanan sempat lumpuh. Bisa berjalan lagi setelah terapi dan dengan bantuan tongkat.
Namun, suaminya malas bergerak. Berat hati untuk sekadar melemaskan otot-otot. Apalagi jalan kaki dengan jarak lumayan. Pria itu lebih suka berbaring.
Ditambah, kesukaannya terhadap penganan digoreng tidak berhenti. Apabila tidak disuguhi gorengan, ia akan ngambek. Marah-marah.
"Mau gak mau dituruti. Abis, gimana lagi?"
Saya pun mengisahkan pengalaman:
- Paling pertama adalah meyakini bahwa kesembuhan hanya milik Maha Penyembuh. Mintalah kepada-NYA.
- Berikutnya, ikhtiar dengan berobat menurut cara-cara umum. Seperti konsultasi rutin dengan dokter spesialis, minum obat, dan terapi medik.
- Bergerak setiap hari. Dari mulai melatih bagian tubuh lemah agar lebih kuat (salah satunya, mengangkat kedua lengan ke atas), hingga berolahraga (jalan kaki).
- Menerapkan pola makan dan gaya hidup sehat.
- Antusias untuk lebih sehat dan berpikir positif menghadapi hidup.
- Keluar rumah untuk bersosialisasi sambil menyemangati diri. Kata Kakek Merza, tetap semangat!
- Mengendalikan emosi. Sebagian penderita stroke cenderung mudah meledak. Gampang marah, tersinggung, dan sedih sampai menangis dengan hanya setitik lantaran, meski tidak berkaitan langsung.
Penjual gado-gado/karedok/rujak menirukan masing-masing keterangan dengan penekanan nada. Bersuara lantang, berharap agar suami yang mager, malas gerak, mendengarnya.
"Bagaimana bisa sehat? Kalau hanya tiduran. Malas bergerak," wanita itu mengikhtisarkan, sembari melirik ke dalam.
Seketika wajah saya membeku.Â
Mengartikan seruan keras sebagai, bagaimana bisa bikin buah pena bagus, sementara malas menulis njlimet dan menelaah bacaan ruwet?
Sebelum benak terbakar, saya segera membayar rujak berikut gado-gado dengan uang pas Rp30.000. Balik badan. Pulang.
Segitunya, deh!