Melintas di depan lapak gorengan sebelah sebuah warung kelontong, saya tidak mampir seperti kebiasaan sebelumnya. Persoalan kolesterol tinggi menghalangi untuk singgah.
Sang penjual memanggil, "nyaneut euy! Ayeuna meni tara mampir?" (Bahasa Sunda: ngemil yok! Sekarang kok tidak pernah mampir?)
Takenak, maka saya berbelok. Menarik kursi. Raga mengantar mata menyapu sajian yang sekiranya bukan digoreng.
Seporsi bihun goreng tidak terlalu berminyak dengan harga Rp3.000 berpindah ke perut. Mencuci mulut dengan dua potong dadar gulung seribuan.
Seseorang hendak membeli Kamua di warung kelontong Uda. Ternyata habis.Â
Penjual gorengan menyeru, "beli di toko Agus saja. Ada kok!"
Calon pembeli tersebut hanya mengangguk. Lalu menuju ke gerai lain, tidak ke toko Agus yang sejatinya juga menyediakan air mineral galon merek sama.
Penjual gorengan heran, meskipun harga sama, mengapa banyak warga enggan berbelanja di toko seberang warung kelontong Uda itu?
Dua gerai tersebut menyediakan barang dagangan kurang lebih sama. Harga tidak berbeda. Lokasi juga sama-sama strategis, berada di sekitar permukiman. Namun warga memilih mencari barang di warung lain atau nanti kembali lagi, daripada membeli di toko Agus.
Uda orangnya asyik. Dengan ramah melayani pembeli siapa saja dengan nilai belanja berapa saja.
Kalaupun tidak ada barang yang dicari pembeli, ia bilang: sebentar lagi datang. Atau berkata, nanti sore --paling telat besok pagi-- sudah ada barang.
Uda selalu siap dengan kembalian ketika pelanggan menyerahkan uang pecahan besar. Meskipun ia tetap bertanya, adakah uang pas? Tidak masalah bila takada.
Tetap ramah kendati seseorang hanya nongkrong. Makanya, saya kerap ngobrol kosong di balai-balai di depan warung, sekalipun tidak membeli apa-apa, bersama Uda dan warga lain.
Dulu saya pernah berbelanja di toko Agus. Ia melayani dengan langgam kaku. Wajah beku. Tidak banyak bicara selain menyebut harga. Bila tidak tersedia barang yang dicari, irit jawaban: tidak ada.
Barangkali apa yang saya alami juga dirasakan oleh pembeli yang notabene warga sekitar.
Maka, menjawab pertanyaan penjual gorengan, saya menyampaikan dugaan asal-asalan:
- Pelayanan ramah menjadi keunggulan warung kelontong Uda. Meliputi bahasa tubuh hingga penyampaian menyenangkan pembeli.
- Bila barang dicari kosong, memastikan kepada pelanggan bahwa komoditas akan datang dalam waktu dekat.
- Bergaul dengan warga, sekalipun hanya nongkrong. Toh satu saat orang tersebut akan menjadi pembeli.
- Senantiasa menyediakan uang kembalian.
Begitu amatan selintas.Â
Sifat usaha dua gerai pada dasarnya serupa, yakni penyedia barang kebutuhan sehari-hari. Peluangnya kurang lebih sama. Namun pembeli merasa nyaman berbelanja di warung kelontong Uda.
Pelayanan ramah merupakan keunggulan warung kelontong Uda. Juga kelebihan tersebut di atas yang membedakan dengan toko Agus.Â
Para pembeli cenderung ke warung kelontong Uda daripada toko Agus.
Dengan itu, Uda telah membuat perbedaan agar warungnya ramai pembeli. Â Make a difference!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H