Warga tersenyum ramah. Saya kira mereka sudah terbiasa, atau terlatih, menerima kunjungan wisatawan yang sengaja datang untuk menyesatkan diri di gang meliuk-liuk.
Menurut cerita, belokan dan gang yang telah dipercantik dikemas dalam bentuk festival pada waktu tertentu. Ada pertunjukan kesenian, wisata kuliner, dan pemandangan sungai Ciliwung (sumber).
Kali ini saya kurang beruntung. Tidak ada festival atau pertunjukan kesenian. Tidak ada pengalaman sangat istimewa tentang wisata kuliner. Saya menemukan gorengan, mi ayam, bakso Bogor, rujak buah, karedok, pecel.
Ragam kuliner yang kurang lebih sama di gang biasanya saya jelajahi dekat rumah. Suasananya pun serupa. Saya percaya, kehidupan sosial ekonomi umumnya tidak jauh berbeda.
Namun ada kelebihan kampung Labirin. Lingkungannya lebih berwarna dan hijau. Tiap-tiap rumah sudah dipercantik, setidaknya dengan cat menarik. Pada beberapa bagian dari gang dihiasi oleh tanaman.
Keunikan lainnya, sebagian warga merupakan kelompok keturunan yang hidup berdampingan secara damai. Tinggal bersama dalam satu area permukiman. Kehidupan bertoleransi yang luar biasa.
Akhirnya, satu jam sebelum waktu lohor, saya keluar dari kampung Labirin. Menyusuri gang lain menuju Pasar Bogor. Berjarak kira-kira 1 kilometer, pusat perdagangan dekat klenteng itu mestinya terdapat beragam pilihan makanan.
Ya, benar! Tenggorokan kering. Perut mulai dangdutan. Maka es pala dan makanan warung Sunda menjadi sasaran.