Sekali lagi, saya cenderung sensitif. Sangat perasa. Gampang sedih. Tertawa tanpa terkendali. Marah dan merasa sebal terhadap perkara yang sangat sepele.
Selain itu kesal berobat tiap bulan ke dokter saraf, makan obat setiap hari, pergi ke pengobatan alternatif, tetapi tidak memulihkan kondisi tubuh seperti semula.
Dari pengalaman di atas selanjutnya saya melakukan hal sebagai berikut:
- Belajar mengendalikan kemarahan dengan berusaha memahami keadaan atau orang lain, tidak melibatkan diri dalam perdebatan sia-sia, dan segera menyingkir dari keadaan yang memicu marah.
- Rutin berkonsultasi dengan dokter dan minum obat.
- Melakukan terapi. Banyak cara, dari mulai terapi medis, berjalan kaki, menulis, sampai terapi Reiki (terima kasih kepada Bu Roselina dan Pak Tjipta).
- Jangan dengar kata orang orang! Tidak sedikit teman, kenalan, dan orang di jalan menawarkan pengobatan alternatif. Jangan percaya, karena yang mengiklankan adalah orang-orang sehat yang belum pernah kena stroke.
- Menjalankan pola makan sehat dan gaya hidup sehat. Sekarang saya terbiasa tidur pukul delapan malam.
- Berupaya keras untuk lebih sehat setiap hari. Pulih adalah karunia dari-NYA.
- Berdoa.
- Terakhir, menyadari bahwa stroke bukan akhir dari segalanya. Ia adalah jalan hidup yang telah dipilih pada masa lalu: hidup sehat atau mencari sakit? Your life is up to you! Dengan itu nikmati saja keadaan sekarang dengan berpikir positif.
Demikian refleksi yang bisa saya sampaikan. Kalau bisa, tidak usah ikut barisan penderita stroke. Sudah terlalu banyak!
Cara-cara mengenali dan menghadapi stroke di atas adalah versi saya yang masih menempel di ingatan. Anda dapat mencari informasi lebih lengkap kepada para ahli, serta situs kesehatan terpercaya dan Kementerian Kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H