Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Menilai Akibat Tergesa-gesa Mengambil Kesimpulan

4 Januari 2023   05:57 Diperbarui: 4 Januari 2023   07:41 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kolase penerima keripik (dokumen pribadi)

Mengambil kesimpulan berdasarkan parameter terbatas akan menimbulkan salah penilaian tentang suatu keadaan. Itu yang saya alami.

Tidak ada dampak fatal, tetapi kemudian menimbulkan rasa tidak nyaman karena salah menilai. Paling tidak ada tiga kekeliruan berkaitan dengan distribusi keripik amanat Pak Tjipta dan Bu Roselina.

Jenis Keripik

Pembungkus paket dari Jakarta yang tiba hari Senin (2/1/2023) langsung digunting. Dus besar dibiarkan terbebat lakban. Dus kecil dibuka, berisi sepuluh (ternyata bukan 9) bungkus keripik pisang rasa original dan cokelat.

Hanya berlandaskan kenyataan itu, saya menyimpulkan seluruh isi kiriman terdiri dari dua macam keripik. Tiadanya keterangan atau daftar isi menguatkan konklusi.

Selasa pagi dus besar dibuka. Ternyata isinya aneka keripik: singkong, bayam, ubi ungu, bawang, juga pangsit dan kremesan.

Dus besar isi beragam jenis keripik (dokumen pribadi)
Dus besar isi beragam jenis keripik (dokumen pribadi)

Salah dong. Terlalu cepat mengambil kesimpulan, di mana pernyataan dua jenis keripik terlanjur disampaikan dalam artikel kemarin. Mohon maaf.

Kemampuan Distribusi

Hari Senin saya membagikan 7 bungkus ke berbagai pihak. Persoalannya, paket datang menjelang makan siang. Setelah lohor, hujan turun. Kemudian waktu digunakan untuk distribusi kurang dari satu jam. 

Dengan itu saya menghitung bahwa diperlukan 8 hari untuk menghabiskan semua keripik (dengan kondisi sama). Tepatnya 58:7= 8,2857142857142 hari.

Selasa kemarin pukul 8 saya berangkat, kendati masih gerimis. Anggap saja salju turun. Memberikan keripik titipan ke ibu di tempat sampah, ibu yang tinggal di los ukuran 4x4 meter persegi sekalian menjual gorengan.

Distribusi sempat berhenti. Berteduh setengah jam di toko belum buka menunggu hujan reda ditemani kucing tidur.

Menunggu hujan reda ditemani kucing tidur (dokumen pribadi)
Menunggu hujan reda ditemani kucing tidur (dokumen pribadi)

Perjalanan berikutnya menemui tukang becak, pedagang kecil, ojol, pemulung, dan banyak lagi. Satu dua orang keberatan ketika hendak diabadikan. Selanjutnya saya berketetapan tidak ambil foto.

Tiga puluh bungkus keripik (tas memuat segitu) langsung tandas. Jauh lebih banyak dibanding distribusi hari sebelumnya. Andai seluruh keripik dibawa, bisa jadi akan terbagi habis.

Sebelumnya saya berpikir matematis. Menghitung flat berdasarkan pengalaman pada hari pertama sehingga lahir kesimpulan bahwa distribusi berlangsung selama total 8 hari.

Ternyata tidak begitu. Barang dibagikan jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. Bisa selesai pada hari itu juga jika membawa semua.

Keadaan itu bisa jadi karena durasi distribusi lebih panjang, membawa keripik lebih banyak, dan pas ketemu dengan target person yang sesuai. Dan yang paling berpengaruh adalah semangat tinggi!

Penjual Masker yang Mengesalkan

Di tepi jalan besar tampak seorang pria menunggu dagangan. Di hadapannya terletak sebuah kerangka besi tergantung masker, kaos kaki, topi, jas hujan 10 ribuan.

Saya menyeru, tetapi pria itu tetap duduk sambil menjawab, "siapa? Ada apa?"

Bikin kesel gak sih? Mau dikasih sesuatu dengan gratis, eh kok malah nyolot!

Dengan menekan kesal saya melompati parit yang lumayan merepotkan bagi saya. Kalau gagal, bisa nyemplung ke dalam drainase terbuka tersebut. Saat menyerahkan sebungkus keripik, dia malah bertanya, apa ini? Gesturnya tampak menolak.

Saya menjelaskan bahwa ini keripik titipan orang jauh. Tidak perlu membayarnya. Dengan keterangan itu barulah ia mau menerima. Mengucapkan terima kasih. Matanya mengarah ke tempat lain. Tambah bikin kesel!

Ia mengeluarkan uang. Meraba lembaran merah paling atas dan menunjukkan ke saya, "ini bener ya uang seratus ribu?"

"......???"

"Tadi ada yang belanja gak mau terima kembalian. Katanya uangnya pas, tapi saya ragu?"

"Benar. Itu lembaran seratus ribu."

Rupa-rupanya penjual masker itu tidak bisa melihat. Kacamata digunakan hanya untuk kamuflase.

Foto kolase penjual masker (dokumen pribadi)
Foto kolase penjual masker (dokumen pribadi)

Pria berasal dari Sumatera Barat itu menerangkan, sudah dua tahun tidak bisa melihat. Saraf penglihatan terganggu akibat katarak, meski telah dioperasi.

Deg! Mendadak saya lemas. Mata terasa hangat. Untung tidak ada orang lain.

Pria bernama Kamal itu berjualan masker, kaos kaki, topi, jas hujan demi menghidupi istri berikut anak sulung usia SMP dan bungsu 5 tahun.

Pak Kamal melayani pembeli (dokumen pribadi)
Pak Kamal melayani pembeli (dokumen pribadi)

Selagi pak Kamal melayani pembeli, saya menyingkir melalui trotoar panjang yang sepi. Di sanalah saya menumpahkan sesal dan rasa kacau yang mengiris.

Akhirul Kata

Belajar dari pengalaman di atas, besok besok saya lebih cermat dalam menghitung dan menilai apa pun. Tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan.

Jangan salah menilai seperti sebelumnya. Melihat selintas tanpa parameter cukup lalu terburu-buru menyimpulkan sebuah keadaan. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun