Setiap makan soto di mana pun dan jika memungkinkan, saya memesan masakan berkuah itu tanpa micin. Sekarang ditambah dengan sedikit -- sangat sedikit-- garam. Sembari mengenyangkan perut, saya menguji: kuahnya enak atau enak banget?
***
Singkat cerita, akhirnya saya memesan setengah piring nasi putih dan soto tanpa micin dengan sedikit garam. Pisah, bukan campur.
Anda lebih suka mana, soto pisah nasi atau campur?
Terlihat penjual, namanya Buhari, memasukkan bihun matang, kubis rajangan, setengah telur rebus, ayam iris, koya, dan kuah panas ke dalam mangkuk. Lalu pria Bangkalan itu menaburkan bawang merah goreng dan seledri.
Potongan jeruk nipis diperas di atas kuah. Sedikit sambal ditambahkan, karena terbuat dari cabai rawit merah yang amit-amit pedasnya. Sebungkus kerupuk udang sebagai teman.
Kuah agak kekuningan terasa ringan di lidah. Lumayan gurih, kendati tidak ditambahkan micin. Nasi soto hangat meredakan kemelut di dalam perut segera dilahap. Jika tidak, kuah cepat dingin.
Enak, tetapi bukan yang enak banget.
Saya bertanya kepada Buhari, "nekah kua korang bumbu, gi?"Â (Ini kuah kurang bumbu, ya?)
Penjual soto menerangkan, "bunten. Soto gitak ketket. Sampiyan nekah se pertama meleh." (Bukan. Soto belum reduce. Anda adalah pembeli pertama).
Ah iya. Rupa-rupanya warung tenda baru buka. Kuah soto belum lama dimasak sehingga bumbu dan air kaldu belum menyatu. Setengah jam lagi akan lebih enak.