Sabtu terakhir di tahun lalu. Langit pagi tampak murung. Matahari malu-malu menyibak mendung. Sisa hujan menggantung pada pucuk daun.
Udara dingin tidak menghalangi kaki menapaki rumput, trotoar, aspal yang di sana-sini masih basah. Sebelum terlalu jauh, perlu sarapan yang menghangatkan tubuh. Makanan berkuah. Mi rebus dicabein? Bakso? Soto?
Di wilayah yang dikenal terdapat beragam penjual makanan, terlihat tenda bubur ayam, lapak toge goreng, warung mi ayam dan bakso belum buka, dan gerobak soto santan. Persis di samping penjual nasi kebuli di atas motor tersua tenda penjual Nasi Soto Ayam Khas Madura.
Ke situlah tubuh lapar dan kedinginan berlabuh. Kuah hangat, gurih, dan aroma rempah soto Madura familier di lidah saya.
Sejatinya saya penggemar berat beragam olahan soto. Satu jenis soto favorit saya ada di Setiabudi Jakarta. Depot (tempat berjualan) tersebut menjual rawon serta soto ayam dan daging. Di meja tersedia usus, daging, dan paru goreng.
Warung soto Jawa Timuran! Bisa jadi gaya olahan Lamongan. Pada kuahnya dibubuhkan koya. Bubuk koya terbuat dari bawang putih goreng dan kerupuk udang yang kemudian dihaluskan.
Biasanya saya memilih soto campur. Maksudnya cara penyajiannya. Nasi digabung dengan kuah soto dalam satu mangkuk. Diaduk setelah ditambah perasan jeruk nipis dan sambal.
Anget? Sudah pasti. Gurih banget? Apalagi. Empuk? Ketika digigit, daging tidak melawan.
Di antara itu semua, rasa hangat juga tumbuh dari rempah-rempah dalam kuah. Anak penjual soto pernah memberi bocoran kepada saya mengenai bumbu digunakan. Ternyata kuahnya kaya dengan rempah. Saya lupa di mana mencatatnya.
Kuah tersebut sudah reduce, artinya bumbu yang banyak (jenis maupun jumlah) melebur dengan air kaldu. Ini yang membuatnya enak banget dan gurih. Tidak ngambang sebagaimana kuah ditambahkan micin.
Setiap makan soto di mana pun dan jika memungkinkan, saya memesan masakan berkuah itu tanpa micin. Sekarang ditambah dengan sedikit -- sangat sedikit-- garam. Sembari mengenyangkan perut, saya menguji: kuahnya enak atau enak banget?
***
Singkat cerita, akhirnya saya memesan setengah piring nasi putih dan soto tanpa micin dengan sedikit garam. Pisah, bukan campur.
Anda lebih suka mana, soto pisah nasi atau campur?
Terlihat penjual, namanya Buhari, memasukkan bihun matang, kubis rajangan, setengah telur rebus, ayam iris, koya, dan kuah panas ke dalam mangkuk. Lalu pria Bangkalan itu menaburkan bawang merah goreng dan seledri.
Potongan jeruk nipis diperas di atas kuah. Sedikit sambal ditambahkan, karena terbuat dari cabai rawit merah yang amit-amit pedasnya. Sebungkus kerupuk udang sebagai teman.
Kuah agak kekuningan terasa ringan di lidah. Lumayan gurih, kendati tidak ditambahkan micin. Nasi soto hangat meredakan kemelut di dalam perut segera dilahap. Jika tidak, kuah cepat dingin.
Enak, tetapi bukan yang enak banget.
Saya bertanya kepada Buhari, "nekah kua korang bumbu, gi?"Â (Ini kuah kurang bumbu, ya?)
Penjual soto menerangkan, "bunten. Soto gitak ketket. Sampiyan nekah se pertama meleh." (Bukan. Soto belum reduce. Anda adalah pembeli pertama).
Ah iya. Rupa-rupanya warung tenda baru buka. Kuah soto belum lama dimasak sehingga bumbu dan air kaldu belum menyatu. Setengah jam lagi akan lebih enak.
Bukan perkara besar. Paling penting, sudah sarapan dengan soto ayam yang menghangatkan agar kuat menghadapi kenyataan, eh, perjalanan.
Saya menyerahkan selembar dua puluh ribu. Buhari menukarnya dengan tiga lembar dua ribu rupiah.
"Oh ya, lupa. Kerupuk belum bayar. Berapa?"
"Gratis untuk Masnya."
Buhari tersenyum. Saya tersenyum melanjutkan perjalanan. Sarapan soto ayam berhasil menghangatkan dan menyegarkan atau memulihkan kondisi tubuh.
Bukankah tujuan makan adalah demi memulihkan kondisi tubuh agar segar kembali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H