Ia berhenti di depan etalase.
"Makan ini aja!"
"Gak jadi makan ciken di kaefsi?"
"Ini aja. Lebih menarik."
Putri sulung saya yang waktu itu belum lulus SD menunjuk ayam goreng, tumis buncis, sambal, dan lalap sebagai teman setengah piring nasi.
Sama-sama olahan ayam, tapi ia lebih memilih ayam goreng bumbu serundeng di warung nasi berpenampilan bersahaja, daripada deep fried chicken berbalut tepung olahan restoran waralaba tersohor.
Lebih memilih warteg (warung Tegal) atau warsun (warung Sunda) bukan berarti menolak makan di restoran amrik.
Bukan hal aneh juga sih. Namun dibanding sepupunya yang doyan makanan cepat saji, preferensi putri saya ya cukup mengherankan.
Anak laki-laki dari kerabat dekat itu terbiasa makan ciken seraya minum kola. Juga doyan burger, daripada tempe tahu pun olahan ikan. Apalagi masakan sayur, tidak bakal dilirik. Kebiasaan makan itu terbawa sampai dewasa.
Awalnya saya mengajarkan anak agar lebih menyukai hasil masakan domestik. Perut selalu terisi sebelum pergi dari rumah.
Kalaupun makan di luar rumah, bersama keluarga makan di tempat makan dengan menu bervariasi. Kaya dengan pilihan lauk (daging, ikan, ayam, telur) dan sayur (lalap, rebus, tumis).Â
Kadang bila tidak sempat membawa bekal ke sekolah, ia makan di warung nasi Bu Itje di depan sekolahnya.
Sesekali diajak menikmati sajian cepat saji untuk merasakan sensasi selera berbeda. Atau datang karena ada undangan ulang tahun, misalnya.
Dengan demikian, putri saya memiliki beragam pilihan selera. Makan di rumah, itu sudah pasti. Di luar rumah ia memiliki keleluasaan pilihan hidangan di warung sederhana sampai di kaefsi, mekdi, dan restoran cepat saji lainnya.
Saya juga memiliki keleluasaan. Ketika ingin memancing gagasan menulis sambil ngopi, di kepala melintas dua pilihan tempat: warung sederhana atau restoran cepat saji.
Sebetulnya apa sih bedanya?
Pilihan
Warung nasi sederhana punya banyak pilihan masakan (lauk dan sayur). Apalagi di warung Padang.
Di restoran cepat saji terbatas pada olahan ayam, burger, telur, kentang, dan sup. Kalaupun pernah menyediakan masakan tradisional, rasanya kurang mantap.
Harga
Mestinya harga ditawarkan di rumah makan biasa lebih murah dibanding di restoran cepat saji. Sepotong (hasil dari bagi empat) ayam goreng serundeng Rp 8 ribu. Saya tidak tahu harga sepotong ayam di restoran cepat saji, mestinya lebih dari 15 ribu.
Perbandingan bisa saja tidak on par. Namun demikian secara relatif tetap lebih murah di warung makan biasa.
Kenyamanan
Dari segi ini restoran cepat saji umumnya menawarkan kenyamanan lebih daripada warung biasa. Tempat luas, bersih, dingin, dan dengan pengunjung berpakaian rapi nan harum.
Bisa betah berlama-lama di restoran cepat saji. Namun bisa saja warung memiliki kesan akrab dengan atmosfer adem membuat hangat jiwa.
Pelayanan
Pasti restoran cepat saji unggul dalam services. Para staf terlatih dengan standar pelayanan restoran.
Sedangkan warung? Pelayanan beragam. Anda bisa menjajal sendiri saat makan siang nanti.
Lokasi
Restoran cepat saji berada di kawasan bagus yang strategis. Warung makan bisa di mana saja. Nyempil di kawasan elite, dekat perumahan, di pasar tradisional, dekat terminal, dan di mana saja.
Kesehatan
Tentu saja restoran cepat saji telah mematuhi standar higienis dalam pengolahan makanan maupun menjaga kesehatan lingkungan.
Sedangkan warung tidak menyatakan pemenuhan terhadap kesehatan dalam proses memasak dan penyajian di etalase.
***
Jadi baik warung nasi sederhana maupun restoran cepat saji memberikan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tergantung preferensi.
Untuk berlama-lama, restoran cepat saji memiliki keunggulan. Nyaman, dingin, bersih. Namun demikian, bukan berarti di warung makan sederhana tidak cukup nyaman untuk bisa berlama-lama. Bisa!
Warung nasi tidak jauh dari rumah menyediakan makanan sederhana yang enak, suasana akrab dalam ruang makan sempit, adem di bawah pohon rindang, dan --tentu saja-- murah.Â
Dua jam nongkrong di warung, saya menyelesaikan satu tulisan belum disunting. Menghabiskan satu cangkir kopi, satu gelas air, dua potong tahu sutera goreng, dan dua kerupuk. Semuanya ditukar dengan uang sepuluh ribu perak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H