... dalam dunia profesional harus on time dan enggak ada alasan untuk tidak tepat waktu -- Cinta Laura
Satu dua kali bisa jadi kita pernah terlambat menghadiri kegiatan belajar mengajar di kelas. Atau sesekali telat masuk kantor.
Ada ribuan alasan atas keterlambatan. Kalau perlu dibuat cerita mengenaskan dalam rangka menjustifikasi kelalaian itu.
Dengan kata lain, tiada dalih untuk telat yang disebut terlambat. Tidak ada alasan paling tepat untuk tidak tepat waktu.
Kecuali yang satu ini.
Sekitar tahun 2001 atau 2002, saya lupa. Hari pertama suatu pelatihan diisi dengan perundingan tentang ground rules. Peraturan dasar akhirnya disepakati antara peserta penataran dengan fasilitator yang orang bule, asli berkebangsaan Amerika Serikat.
Salah satu poin adalah terkait kesepakatan to be on time. Hadir tepat waktu di setiap acara training yang akan berlangsung selama seminggu.
Setiap hari kelas dimulai tepat pukul 7.00 WIB. Bel berdering, pintu kelas ditutup.
Melewati bunyi itu, peserta dianggap terlambat biar kata semenit telat. Perkara mudah, pikir saya. Pikiran serupa berkecambah pada seratus peserta.
Memang banyak orang dari berbagai instansi pemerintah dan swasta mengikuti basic training itu. Jumlahnya akan berkurang pada pelatihan-pelatihan tingkat selanjutnya.
Esoknya sebagian besar peserta sudah hadir sebelum pukul 7.00 WIB.
Sebagian duduk di kursi masing-masing, tapi ada yang sedang mengunyah di lorong di mana tersedia kopi, teh, dan aneka kue. Ada yang ngobrol dengan rekannya pada koridor di luar pintu kelas. Ada pula yang terlihat sedang memarkir mobilnya, juga yang berlari-lari kecil di halaman gedung.
Bel berdering. Pintu kelas akan ditutup. Orang-orang terbirit-birit meninggalkan cangkir kopi, obrolan, dengan sedikit rasa panik menuju kelas sebelum daun pintu mengatup.
Lebih dari setengahnya tidak on time, ketus si bule dalam bahasa Inggris.
Sebagian yang baru datang mengetuk pintu. Dengan napas ngos-ngosan, tergagap menyampaikan alasan keterlambatan:
- Pukul 7.00 WIB sudah tiba di halaman gedung.
- Sedang memarkir mobil.
- Sudah berada di lobi menunggu antrean masuk lift.
- Telat kena macet, ban kempes, isi bensin terlebih dahulu, dan alasan-alasan sebanyak kepala yang telat.
Muncul sanggahan dari peserta. Berpendapat bahwa kehadiran mereka sudah tepat waktu. Buktinya, sebelum bel berbunyi mereka sudah ada di depan pintu; sedang ngopi ngobrol di koridor depan kelas; ada di lobi, di halaman parkir, di gerbang gedung; dan seterusnya.
Tidak satu pun alasan diterima oleh fasilitator yang saya lupa namanya. Sebagian besar peserta dianggap melanggar ground rules, aturan yang disepakati bersama.
To be on time --tepat waktu---adalah duduk di kursi pada pukul 7.00 WIB persis (punctually), yaitu saat kelas dimulai (bukan "akan" dimulai) tepat pada waktunya.
Sedangkan beragam dalih telah disampaikan merupakan justifikasi dari perilaku tidak tepat waktu. Ada hal jauh lebih penting dari sekadar alasan pembenaran.
Begitu yang saya ingat dari penjelasan orang Amerika itu. Barangkali yang jago atau guru bahasa Inggris lebih bisa menerangkan istilah di atas.
Hadirin terperangah. Penyampaian tanpa basa-basi amatlah mengejutkan. Selama ini saya (dan mungkin sebagian dari kita) telah mengabaikan waktu. Tidak tepat waktu yang kemudian ditutupi oleh alasan mudah dibangun.
Kira-kira sejam dari penjelasan, seseorang mengetuk pintu. Peserta wanita berasal dari Singapura masuk dengan muka kusut. Menyampaikan alasan, "sulit sekali menunggu taksi kosong di Jakarta. Macet pula!"
Saat itu belum ada taksi online.
"Anda tahu Jakarta susah taksi saat jam sibuk? Macet ketika semua orang berangkat kerja?"
"Tahu. Tahu banget, Sir. Tentang buruknya transportasi dan kemacetan Jakarta tersiar luas sampai Singapura."
"So, kalau sudah tahu begitu, kenapa Anda tidak berangkat dari dua minggu yang lalu?"
Artinya, si bule Amerika tetap tidak menerima alasan sulit angkutan dan kemacetan sebagai pembenaran tidak tepat waktu.
Tidak berbeda dengan pendapat Cinta Laura yang berkata, dalam dunia profesional harus on time dan enggak ada alasan untuk tidak tepat waktu. Aktris itu berlaku sangat disiplin dan on time (kompas.com).
Lantas harus bagaimana, jika alasan keterlambatan tidak diterima?
Tidak perlu lagi membuat excuses atau alasan-alasan atau berdalih untuk membenarkan perilaku tidak tepat waktu.Â
Menurut fasilitator, lebih baik mengaku (to admire) saja telat memenuhi kesepakatan waktu. Terima salah.
Lalu berjanji melakukan hal lebih baik dari itu. Daripada sibuk mencari-cari alasan keterlambatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H