Esoknya sebagian besar peserta sudah hadir sebelum pukul 7.00 WIB.
Sebagian duduk di kursi masing-masing, tapi ada yang sedang mengunyah di lorong di mana tersedia kopi, teh, dan aneka kue. Ada yang ngobrol dengan rekannya pada koridor di luar pintu kelas. Ada pula yang terlihat sedang memarkir mobilnya, juga yang berlari-lari kecil di halaman gedung.
Bel berdering. Pintu kelas akan ditutup. Orang-orang terbirit-birit meninggalkan cangkir kopi, obrolan, dengan sedikit rasa panik menuju kelas sebelum daun pintu mengatup.
Lebih dari setengahnya tidak on time, ketus si bule dalam bahasa Inggris.
Sebagian yang baru datang mengetuk pintu. Dengan napas ngos-ngosan, tergagap menyampaikan alasan keterlambatan:
- Pukul 7.00 WIB sudah tiba di halaman gedung.
- Sedang memarkir mobil.
- Sudah berada di lobi menunggu antrean masuk lift.
- Telat kena macet, ban kempes, isi bensin terlebih dahulu, dan alasan-alasan sebanyak kepala yang telat.
Muncul sanggahan dari peserta. Berpendapat bahwa kehadiran mereka sudah tepat waktu. Buktinya, sebelum bel berbunyi mereka sudah ada di depan pintu; sedang ngopi ngobrol di koridor depan kelas; ada di lobi, di halaman parkir, di gerbang gedung; dan seterusnya.
Tidak satu pun alasan diterima oleh fasilitator yang saya lupa namanya. Sebagian besar peserta dianggap melanggar ground rules, aturan yang disepakati bersama.
To be on time --tepat waktu---adalah duduk di kursi pada pukul 7.00 WIB persis (punctually), yaitu saat kelas dimulai (bukan "akan" dimulai) tepat pada waktunya.
Sedangkan beragam dalih telah disampaikan merupakan justifikasi dari perilaku tidak tepat waktu. Ada hal jauh lebih penting dari sekadar alasan pembenaran.
Begitu yang saya ingat dari penjelasan orang Amerika itu. Barangkali yang jago atau guru bahasa Inggris lebih bisa menerangkan istilah di atas.
Hadirin terperangah. Penyampaian tanpa basa-basi amatlah mengejutkan. Selama ini saya (dan mungkin sebagian dari kita) telah mengabaikan waktu. Tidak tepat waktu yang kemudian ditutupi oleh alasan mudah dibangun.