Sejak usia SMA, saya memiliki teman-teman baik yang merupakan anak kolong. Pulang sekolah biasanya nongkrong di perumahan TNI AU.
Setelah tahun 2010 sering berkumpul di kompleks perwira. Ada sahabat dan tempatnya dekat dari rumah. Sebagian darinya juga berprofesi sebagai pemborong.
Maka kompleks itu adalah tujuan ketika ada waktu senggang. Enam bulan pertama dalam satu tahun saya memiliki waktu luang.
Begitulah kegiatan pemborong kelas kecil. Tatkala ada pekerjaan, sibuk luar biasa. Lobi-lobi ketika memiliki waktu luang dan sedikit uang.
Selain itu, nongkrong di kompleks perwira sambil main kartu demi membunuh waktu.
Main remi hanya untuk bersenang-senang. Tidak menggunakan uang. Saya pun masuk grup pemain kartu yang bukan untuk tujuan judi.
Beberapa pemain tersebut adalah perwira warga kompleks yang berada di luar tugas. Kerap berjumpa, membuat akrab. Tiada sekat antara tentara dengan orang sipil seperti saya.
Salah satu teman bermain kartu adalah pak Pieter (bukan nama sebenarnya), seorang perwira aktif yang bertugas di Kabupaten Bogor. Orangnya baik, ramah, dan senang bergurau.
Ada saatnya kegiatan proyek demikian menyita waktu. Membuat saya tidak bisa ikut berkumpul di kompleks militer tersebut.
Pagi berangkat. Pulang terlalu larut untuk nongkrong. Kerap menginap, bila lokasi terlalu jauh untuk pulang pergi.
Pada satu proyek yang lokasinya jauh, seperti biasa saya menghadapi kerumunan warga yang meminta kompensasi. Ingin mencicipi kue proyek bernilai lumayan.
Gerombolan warga menyambangi basecamp. Serbuan membuat teman-teman pelaksana lainnya tunggang langgang. Saya sendirian menghadapi mereka.
Aspirasi warga diwakili oleh seorang pria berseragam loreng. Dengan menggelegar pria dari salah satu kesatuan di kabupaten Bogor itu menyampaikan tuntutan warga. Di belakangnya warga berteriak mengamini.
Saya sudah sampaikan bahwa proyek tersebut demi kepentingan masyarakat. Seyogianya tidak ada gangguan yang menghambat pelaksanaannya.
Seusai proyek dan jika memungkinkan, maka fasilitas umum di sekitar akan dibenahi. Namun belasan warga tersebut tetap ngotot minta mentahnya saja.
Yang saya mengerti, mereka tidak mewakili banyak warga, tapi akan menggunakan uang melulu untuk kepentingan kelompoknya.
Di tengah perdebatan panas tiba-tiba saya teringat sesuatu. Dari saku menarik telepon genggam. Menekan angka-angka.
Sambil mengeja name tag di dada tentara tersebut, saya bercakap akrab dengan lawan bicara di telepon.
"Maaf, akhir-akhir ini tidak bisa ikut main kartu. Oh ya mau tanya, pak Pieter mengenal pak Ali (nama samaran) dari kesatuan ******?"
"Kenapa? Ada masalah?" Berikan telepon kepadanya," seru pak Pieter dari seberang.
Kemudian saya hanya mendengar pak Ali berkata, "siap, Ndan. Siap, Ndan," seraya agak menyingkir.
Tentara tersebut mengembalikan telepon genggam sambil menunduk-nunduk minta maaf. Mukanya pucat.
Barangkali ia tidak habis pikir, siapa orang ini sampai bisa kenal komandannya. Teman main kartu pula.
Bersamaan dengan itu, kumpulan warga bubar. Sejak saat itu, gangguan dari warga tidak ada lagi. Berganti dipalak oleh ormas tertentu.Â
Ternyata nama teman nongkrong, teman bermain kartu remi, boleh juga dipakai sebagai penggentar dalam menghadapi serbuan warga. Sekali-kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H