Kisah manis menjadi Kompasianer berawal dari tidak sengaja. Menjadi penulis --menarasikan gagasan---di blog keroyokan dengan tiada rencana. Saya kira tidak sedikit Kompasianer melewati cerita demikian.
Bermula dari "instruksi" seorang sahabat pada akhir tahun 2010, saya membuat akun Kompasiana. Gagal validasi. Tidak soal. Yang penting sudah memenuhi permintaan kawan baik itu.
Beberapa bulan kemudian, ia menanyakan pengalaman ber-Kompasiana.
Kakak kelas Pepih Nugraha di kampus jalan Sekeloa Bandung itu berkata, betapa karya tulis di media warga tersebut amatlah bagus-bagus. Ia pun beberapa kali menayangkan opini di blog milik Kompas Gramedia Group. Ya iyalah, ia punya modal ilmu komunikasi dan berpengalaman sebagai Creative Director perusahaan iklan. Sementara saya, apalah artinya? Hikz.
Tidak enak hati, kemudian saya membuat akun dengan email berbeda. Maka, bulan Februari 2011 (lupa tanggal berapa) resmi memiliki akun di Kompasiana.
Penulis Pupuk Bawang
Awal-awal berselancar di Kompasiana adalah menjumpai berbagai karya tulis hebat. Bak membaca opini di media cetak. Demikian pula dengan karya fiksi. Puisi dan cerpen merupakan gubahan melampaui alam imajinasi saya. Pokoknya: mengagumkan!
Kekaguman yang sempat menyurutkan niat menayangkan tulisan. Tersudut di ruang paling sunyi memori laptop.
Maka saya menjadi Kompasianer pupuk bawang (lupa, apakah waktu itu sudah ada sebutan Kompasianer atau tidak). Hanya membaca dan berkomentar pada artikel-artikel hebat. Sesekali bergosip dengan sesama member di kolom chat pada bagian kanan bawah layar (fitur yang sudah tidak ada). Ngerasani orang lain.
Dari itulah mulai mengenal banyak Kompasianer yang mengajak saya untuk mengirim tulisan.
Baru "berani" mengirim artikel karena dirangsang oleh adanya event menulis dari grup penyuka karya fiksi. Maka, pada tahun-tahun awal saya lebih banyak mengisi kanal fiksiana.