Mengikuti kegiatan kerja bakti, saya jadi mengenal satu persatu tetangga. Ada pensiunan TVRI, penjaga toko di mal, pegawai swasta, pekerja serabutan, sopir bajaj, pegawai negeri, dan lain-lain.
Semua lebur. Akrab tanpa sekat. Tentu saja dalam batas wajar.
Saya juga baru tahu, bapak-bapak kerap berkumpul pada malam hari. Dari mulai main kartu remi dan gaple, mengadu strategi bermain catur, sampai cuma ngobrol ngopi-ngopi bareng
Pengetahuan itu menarik saya untuk ikut berkumpul. Dari kantor tiba di rumah menjelang azan Magrib, atau sebelum Isya. Membersihkan diri. Bercengkerama sejenak, lalu bergabung dengan tetangga.
Tidak sampai larut. Sekitar pukul sepuluh malam sudah kembali ke rumah.
Jadi, memang sejak dulu di lingkungan tetangga dalam gang sudah terbangun suasana guyub. Entah di wilayah lain.
Ketika berlibur di rumah mertua di Bogor, saya mesti dioperasi pengangkatan usus buntu. Selanjutnya beristirahat untuk pemulihan di sana selama dua pekan.
Menggunakan metromini (bus mini warna oranye biru), rombongan tetangga dari Jakarta datang menjenguk. Kunjungan yang membuat terharu, padahal operasi usus buntu adalah tindakan medis kecil. Bisa saja mereka menengok setelah saya kembali ke Jakarta.
Tidak seperti bayangan semula. Semula saya berpendapat bahwa kehidupan bertetangga di Jakarta itu renggang, dengan lebih mendahulukan kepentingan masing-masing.Â
Mustahil ada suasana keakraban di antara tetangga. Apalagi bila dibatasi dengan pagar rapat yang tinggi.
Lebih dari sepuluh tahun tinggal di sebuah wilayah di ibukota, pada satu waktu yang lalu, memberikan pemahaman berbeda.