Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Lapar dan Sambal Lalap Bikin Lahap

17 Oktober 2022   05:59 Diperbarui: 17 Oktober 2022   06:33 1272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Salak di kejauhan (dokumen pribadi)

Sabtu lalu perjalanan dimulai lebih siang dari biasanya. Hampir pukul sembilan. Kabar baiknya, awan memayungi perjalanan dan matahari sesekali mengintip.

Langit teduh mengiringi langkah kaki melintasi trotoar. Dua ratus meter pertama tertata baik dengan jalur khusus berwarna kuning. Lalu menyeberang menemukan tempat berjalan kaki yang naik turun karena di beberapa bagian beda tinggi.

Tantangan Menyeberang Jalan

Di Jembatan Merah Kota Bogor berusaha menyeberang menuju Jalan Paledang. Ya, berusaha! 

Mencari celah arus lalulintas agak berjeda. Maklumlah, tidak banyak pengendara menurunkan kecepatan kendaraan bermotor ketika ada orang hendak menyeberang.

Bertemu Penjaja Keripik

Menyusuri Jalan Paledang melihat beberapa petugas dari Dinas Perhubungan sedang berjaga-jaga. Sebagian berbincang dengan Handy Talky. Rupa-rupanya Pak Walikota mau datang.

Lanjut. Masuk ke dalam sebuah gang di samping sebuah restoran. Turun menapaki undak-undakan yang sangat curam bagi saya. Setengah perjalanan pun berhenti, istirahat di tempat duduk beton.

Undak-undakan curam (dokumen pribadi)
Undak-undakan curam (dokumen pribadi)

Berjumpa dengan seorang wanita menjinjing dua keranjang plastik. Berhenti juga, menunggu ibunya yang tertatih-tatih menaiki anak tangga. 

Penjaja keripik (dokumen pribadi)
Penjaja keripik (dokumen pribadi)
Dari bakul dua bungkus keripik singkong dan dua keripik pisang berpindah ke dalam tas kain. Dari kantong celana enam puluh ribu rupiah berpindah ke genggaman penjaja itu. Semoga laris! Aamiin.

Sungai Butek dan Trotoar Bagus

Sampai di bawah bertemu dengan sungai Cipakancilan. Air cokelat mengalir lumayan deras. Sempat bimbang, belok kiri atau ke kanan melintasi sungai menyeberangi jembatan?

Akhirnya ke kiri, melihat satu orang memegang joran. Memancing ikan di sini bisa-bisa mendapatkan sampah, menilik limbah yang dibuang sembarangan turut mengalir bersama air butek.

Setelah itu mengikuti jalan menanjak. Melompati rel double track jalur Bogor Sukabumi. Naik turun menyusuri gang sempit tidak tembus cahaya matahari. 

Melintasi rel double track (dokumen pribadi)
Melintasi rel double track (dokumen pribadi)

Terakhir, tiba di samping sebuah mal. Berada di jalur pejalan kaki yang lebar dan bagus. Ya iyalah, trotoar jalan protokol mah kudu bagus atuh sebagai etalase kota.

Trotoar lebar (dokumen pribadi)
Trotoar lebar (dokumen pribadi)

Kampung Kramat

Trotoar bagus mengantarkan kaki kembali ke Jalan Paledang. Melalui jembatan merah putih melintang tinggi di atas Sungai Cipakancilan.

Jembatan menuju kampung Kramat (dokumen pribadi)
Jembatan menuju kampung Kramat (dokumen pribadi)

Bah, kali ini perjalanan muter-muter tanpa tujuan jelas. Ya anggap saja petualangan atau kegiatan wisata jelajah kota.

Berbeda dengan gang biasa dilewati, memasuki Kampung Kramat adalah menjelajahi gang dengan rumah-rumah tanpa halaman namun asri. Wilayah ini berhias dengan berbagai tanaman pot. Rumah warna-warni menjadi aksen lingkungan yang tampak menarik. Sayangnya saya gagal memotretnya.

Makan Siang di Tepi Kali

Sungai Cipakancilan yang lebar dibelokkan ke aliran buatan. Pintu air mengendalikan arus menuju saluran irigasi, mengalir ke bagian utara Bogor untuk mengairi lahan pertanian. Dulu. Barangkali sekarang lahan tersebut sudah ditanami bangunan.

Kali/Irigasi Cidepit (dokumen pribadi)
Kali/Irigasi Cidepit (dokumen pribadi)

Menurut penuturan warga, kali Cidepit tidak pernah meluap membanjiri permukiman. Di beberapa bagian terdapat pintu air sebagai pengendali.

Kali Cidepit diapit oleh bangunan penduduk. Menapaki jalan setapak di sempadan adalah melihat rumah-rumah dengan beragam bentuk. Pada satu atau dua celah, pandangan terbang menuju arah Gunung Salak di kejauhan, melewati atap rumah-rumah warga.

Gunung Salak di kejauhan (dokumen pribadi)
Gunung Salak di kejauhan (dokumen pribadi)

Pada satu titik tepi kali, di atas meja satu kedai tergeletak cobek sambal dan lalapan. Merangsang mata. Merangsang selera.

Tombol layar telepon genggam ditekan, angka 11.35 berpendar. Seketika terjadi kegaduhan di dalam perut, memaksa bokong mendarat di bangku plastik.

“Makan? Nasi dan lauknya ambil sendiri,” ujar Teteh yang menyisakan keelokan semasa muda pada senyumnya.

Sudahlah. Takusah berpanjang kata, di hadapan tersaji setengah piring nasi ditimpa separuh tongkol pindang digoreng, tumis pare, tumis pucuk daun singkong, lalap dan sambal. Di sebelahnya, semangkuk sayur asem.

Nasi, tongkol, tumisan, sambal lalap, dan semangkuk sayur asem (dokumen pribadi)
Nasi, tongkol, tumisan, sambal lalap, dan semangkuk sayur asem (dokumen pribadi)

Dua setengah jam jalan kaki membuat perut lapar. Nasi hangat dengan ikan pindang, sambal lalap menyebabkan lupa diri.

Memakai tangan kiri --lengan kanan enggan diperintah-- mulut lahap menyantap hidangan. Sesekali menyendok sayur asem. Kemudian, kepada si Teteh meminta imbuh nasi. Menambahkan nasi, sepertinya dua kali lipat banyaknya dibanding tadi.

Kedai itu menempati kios seluas kurang lebih 10 meter persegi. Berisi satu kompor dua tungku dan peralatan memasak, penanak/penghangat nasi, etalase kaca, serta meja dengan kursi plastik yang sebagian berada di luar. Buka setiap hari. Makanan tersedia dari pukul 8 pagi sampai dengan jam 6 sore.

Meskipun berada di gang yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan pejalan kaki, lokasinya lumayan strategis. Warung nasi berada di pesisir jalur lintasan dan berada 100-150 meter dari SD Panaragan. Sebuah pasar potensial. Dapat diduga, ibu-ibu pengantar anak dan para pelintas merupakan pembeli.

Spanduk warung nasi (dokumen pribadi)
Spanduk warung nasi (dokumen pribadi)
Pilihan masakan beragam, dari ikan cue (pindang), aneka masakan ikan goreng dan pesmol, ayam goreng, tahu balado, tumisan, dan lainnya. Ditambah sambal di cobek dan lalap sayur mentah, seperti daun poh-pohan dan terong bulat.

Poh-pohan berbentuk mirip daun sirih, tapi dengan gurat-gurat tulang lebih tegas yang enak dimakan mentah. Saya belum pernah mendengar, daun ini diolah selain dilalap.

Rasanya menyegarkan, tidak langu, dan tidak ada bau aneh-aneh yang tajam. Konon, mengonsumsi daun yang tumbuh di daerah pegunungan itu berkhasiat menguatkan paru-paru. Melegakan pernapasan, kecuali napas tertahan tekanan hidup.

Setelah gagal mengangkat sisa empat atau lima butir nasi di piring, saya mencuci tangan dari pancuran. Berbincang sejenak hendak membayar ongkos kenikmatan. "Lima belas ribu," kata si Teteh.

Wanita usia 40-an itu dua kali tergusur sampai akhirnya menyewa tempat di tepi kali Cidepit. Dekat dengan tempat tinggalnya.

Pertama, terusir dari emperan depan stasiun Bogor yang semrawut, seiring dengan pembenahan tempat perhentian kereta tersebut. Kedua, dari stasiun pindah ke pinggiran Taman Topi. Pembangunan alun-alun kota membuatnya tergusur sekali lagi dari tempat berjualan liar tersebut.

Di kios tepi kali Cidepit itulah si Teteh melanjutkan usaha. Memang tidak sebesar dulu dengan sejumlah pegawai.

“Sekarang mengerjakan sendiri?”

“Ya,” si Teteh sambil bersenandung, “masak masak sendiri, makan makan sendiri, nyuci nyuci sendiri, tidur tidur sendiri pula.”

Maksudnya apa coba? Segera saya bangkit. meneruskan perjalanan pulang. Berangan-angan satu ketika, entah lusa atau kapan, kembali lagi ke warung tepi kali Cidepit mencoba lauk lainnya. Sambal dan lalapnya menggoda. Bikin kangen!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun