Meskipun berada di gang yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan pejalan kaki, lokasinya lumayan strategis. Warung nasi berada di pesisir jalur lintasan dan berada 100-150 meter dari SD Panaragan. Sebuah pasar potensial. Dapat diduga, ibu-ibu pengantar anak dan para pelintas merupakan pembeli.
Pilihan masakan beragam, dari ikan cue (pindang), aneka masakan ikan goreng dan pesmol, ayam goreng, tahu balado, tumisan, dan lainnya. Ditambah sambal di cobek dan lalap sayur mentah, seperti daun poh-pohan dan terong bulat.
Poh-pohan berbentuk mirip daun sirih, tapi dengan gurat-gurat tulang lebih tegas yang enak dimakan mentah. Saya belum pernah mendengar, daun ini diolah selain dilalap.
Rasanya menyegarkan, tidak langu, dan tidak ada bau aneh-aneh yang tajam. Konon, mengonsumsi daun yang tumbuh di daerah pegunungan itu berkhasiat menguatkan paru-paru. Melegakan pernapasan, kecuali napas tertahan tekanan hidup.
Setelah gagal mengangkat sisa empat atau lima butir nasi di piring, saya mencuci tangan dari pancuran. Berbincang sejenak hendak membayar ongkos kenikmatan. "Lima belas ribu," kata si Teteh.
Wanita usia 40-an itu dua kali tergusur sampai akhirnya menyewa tempat di tepi kali Cidepit. Dekat dengan tempat tinggalnya.
Pertama, terusir dari emperan depan stasiun Bogor yang semrawut, seiring dengan pembenahan tempat perhentian kereta tersebut. Kedua, dari stasiun pindah ke pinggiran Taman Topi. Pembangunan alun-alun kota membuatnya tergusur sekali lagi dari tempat berjualan liar tersebut.
Di kios tepi kali Cidepit itulah si Teteh melanjutkan usaha. Memang tidak sebesar dulu dengan sejumlah pegawai.
“Sekarang mengerjakan sendiri?”
“Ya,” si Teteh sambil bersenandung, “masak masak sendiri, makan makan sendiri, nyuci nyuci sendiri, tidur tidur sendiri pula.”
Maksudnya apa coba? Segera saya bangkit. meneruskan perjalanan pulang. Berangan-angan satu ketika, entah lusa atau kapan, kembali lagi ke warung tepi kali Cidepit mencoba lauk lainnya. Sambal dan lalapnya menggoda. Bikin kangen!