Menurut penuturan warga, kali Cidepit tidak pernah meluap membanjiri permukiman. Di beberapa bagian terdapat pintu air sebagai pengendali.
Kali Cidepit diapit oleh bangunan penduduk. Menapaki jalan setapak di sempadan adalah melihat rumah-rumah dengan beragam bentuk. Pada satu atau dua celah, pandangan terbang menuju arah Gunung Salak di kejauhan, melewati atap rumah-rumah warga.
Pada satu titik tepi kali, di atas meja satu kedai tergeletak cobek sambal dan lalapan. Merangsang mata. Merangsang selera.
Tombol layar telepon genggam ditekan, angka 11.35 berpendar. Seketika terjadi kegaduhan di dalam perut, memaksa bokong mendarat di bangku plastik.
“Makan? Nasi dan lauknya ambil sendiri,” ujar Teteh yang menyisakan keelokan semasa muda pada senyumnya.
Sudahlah. Takusah berpanjang kata, di hadapan tersaji setengah piring nasi ditimpa separuh tongkol pindang digoreng, tumis pare, tumis pucuk daun singkong, lalap dan sambal. Di sebelahnya, semangkuk sayur asem.
Dua setengah jam jalan kaki membuat perut lapar. Nasi hangat dengan ikan pindang, sambal lalap menyebabkan lupa diri.
Memakai tangan kiri --lengan kanan enggan diperintah-- mulut lahap menyantap hidangan. Sesekali menyendok sayur asem. Kemudian, kepada si Teteh meminta imbuh nasi. Menambahkan nasi, sepertinya dua kali lipat banyaknya dibanding tadi.
Kedai itu menempati kios seluas kurang lebih 10 meter persegi. Berisi satu kompor dua tungku dan peralatan memasak, penanak/penghangat nasi, etalase kaca, serta meja dengan kursi plastik yang sebagian berada di luar. Buka setiap hari. Makanan tersedia dari pukul 8 pagi sampai dengan jam 6 sore.