Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Ini Alasan Tenant Tidak Melanjutkan Sewa Lapak di Food Court

11 Oktober 2022   05:15 Diperbarui: 11 Oktober 2022   09:57 8286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah food court (dokumen pribadi)

Belum sebulan, seorang kenalan menutup kios di food court, lalu memindahkan penjualan soto ke rumahnya. Ia mengabarkannya sekaligus mengundang untuk mampir ke tempatnya.

Kendati piring dan mangkuk kosong telah lama diangkat, perbincangan demi perbincangan berlangsung seru. Kenalan bernama Doni memang doyan mengobrol.

Apa saja menjadi topik bahasan. Termasuk pertimbangan yang mendasari keputusan Doni untuk tidak melanjutkan sewa kios di pusat jajanan.

Food court atau pusat jajanan itu dekat dengan tempat tinggalnya, taklebih dari 300 meter. Tempatnya luas, adem, dengan potensi pasar yang menjanjikan. Awalnya.

Dengan keberadaan di halaman sebuah kantor, food court diperkirakan akan menarik kunjungan dari pegawai kantor setempat, tamu instansi itu, maupun umum.

Namun, menurut Doni, pengalaman menjual di sana, dalam waktu kurang dari sebulan, membuatnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sewa tempat. Pertimbangan serupa juga mendorong tenant lainnya (salah satunya gerai masakan Padang) tidak meneruskan berjualan di tempat itu.

Rata-rata penjualan 4 porsi per-hari dirasa tidak menguntungkan bagi sebagian penyewa.

Pengelola hanya menarik biaya sewa, tanpa upaya mempromosikan food court ke khalayak luas/umum. Salah satunya, memasang spanduk dan umbul-umbul di tepi jalan memberitahukan keberadaannya.

Ada 22 tenant menjual aneka makanan minuman yang di antaranya menjual produk serupa. Misalnya, terdapat lebih dari dua penjual soto.

Beberapa waktu sebelumnya saya berkunjung ke food court tersebut. Kesan didapat dituliskan dalam artikel terdahulu. Salah satunya tentang perlunya "pemberitahuan" kepada pengunjung umum agar datang berkunjung. Tidak melulu menyasar pegawai atau tamu kantor.

Ya sudahlah. Itu permasalahan pengelola food court, apakah tempat itu dirancang sebagai fasilitas untuk pegawai dan tamunya atau juga menjaring khalayak umum. Kita lupakan dulu.

Mengamati mundurnya Doni sebagai tenant, ada beberapa hal yang membuatnya demikian, di antaranya:

Terlalu Banyak Kios

Terinformasi dari Doni, jumlah penjual di food court sebanyak 22 kios. Andai saja, sekali lagi andai, setiap pedagang membutuhkan sepuluh pembeli, maka food court itu minimal dikunjungi 220 pembeli setiap hari.

Mungkin saja jumlah pegawai dan tamunya lebih dari jumlah itu, tetapi apakah semuanya makan di sana?

Biaya Sewa dibanding Modal

Biaya sewa Rp 400 ribu sebulan. Hasil penjualan rata-rata 4 porsi sehari, anggaplah, @Rp 20 ribu, berat untuk menutup ongkos sewa, bayar pegawai, transportasi, gas, dan biaya langsung (beli ayam, bumbu).

Dengan kata lain, bisa jadi Doni merasa tidak kuat menanggung beban kerugian yang diproyeksi. Lama-lama modalnya akan tergerus.

Daya Juang

Bisa jadi ia merasa lelah. Meskipun jarak dari rumah ke food court cukup dekat, ia kelelahan memobilisasi barang dagangan.

Bandingkan dengan penjual makanan yang mendorong gerobak keliling perumahan. Lebih capek mana?

Kendala Produksi

Terungkap, bahwa Doni mengaku kerepotan ketika menyiapkan barang jualan (belanja bahan, memasak, menata, mencuci, dan seterusnya). Juga memajang dagangan dari pukul 10.30 sampai 20.00.

Bandingkan dengan pedagang yang mulai bekerja sejak dini hari menyiapkan masakan dan berdagang pada pagi sampai siang, bahkan sore.

Keuletan

Pedagang makanan yang tekun biasanya sudah siap menghadapi keadaan penjualan fluktuatif. Hari ini sepi pembeli, siapa tahu besoknya laris.

Pengalaman Doni baru sebulan berjualan di food court, mungkin saja belum bisa dijadikan acuan untuk mengakhiri sewa.

Selera

Tidak laku bisa juga disebabkan oleh ketidaksesuaian produk makanan dijual dengan selera kebanyakan orang. Dalam usaha kuliner, jauh lebih penting memerhatikan selera pembeli daripada cita rasa penjual.

***

Jadi, banyak alasan saling berkaitan, sehingga membuat seorang penjual makanan semacam Doni berhenti berjualan di sebuah food court.

Yaitu faktor pengelolaan dari pihak yang menyewakan tempat dan faktor dalam diri penyewa itu sendiri. Dua hal yang secara bersama-sama mempengaruhi keputusan Doni untuk tidak melanjutkan sewa lapak di food court. Untuk kemudian berjualan rumah sendiri.

Akankah usaha penjualan soto di rumahnya akan bertahan? Kita lihat saja nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun