Ya sudahlah. Itu permasalahan pengelola food court, apakah tempat itu dirancang sebagai fasilitas untuk pegawai dan tamunya atau juga menjaring khalayak umum. Kita lupakan dulu.
Mengamati mundurnya Doni sebagai tenant, ada beberapa hal yang membuatnya demikian, di antaranya:
Terlalu Banyak Kios
Terinformasi dari Doni, jumlah penjual di food court sebanyak 22 kios. Andai saja, sekali lagi andai, setiap pedagang membutuhkan sepuluh pembeli, maka food court itu minimal dikunjungi 220 pembeli setiap hari.
Mungkin saja jumlah pegawai dan tamunya lebih dari jumlah itu, tetapi apakah semuanya makan di sana?
Biaya Sewa dibanding Modal
Biaya sewa Rp 400 ribu sebulan. Hasil penjualan rata-rata 4 porsi sehari, anggaplah, @Rp 20 ribu, berat untuk menutup ongkos sewa, bayar pegawai, transportasi, gas, dan biaya langsung (beli ayam, bumbu).
Dengan kata lain, bisa jadi Doni merasa tidak kuat menanggung beban kerugian yang diproyeksi. Lama-lama modalnya akan tergerus.
Daya Juang
Bisa jadi ia merasa lelah. Meskipun jarak dari rumah ke food court cukup dekat, ia kelelahan memobilisasi barang dagangan.
Bandingkan dengan penjual makanan yang mendorong gerobak keliling perumahan. Lebih capek mana?
Kendala Produksi
Terungkap, bahwa Doni mengaku kerepotan ketika menyiapkan barang jualan (belanja bahan, memasak, menata, mencuci, dan seterusnya). Juga memajang dagangan dari pukul 10.30 sampai 20.00.
Bandingkan dengan pedagang yang mulai bekerja sejak dini hari menyiapkan masakan dan berdagang pada pagi sampai siang, bahkan sore.
Keuletan
Pedagang makanan yang tekun biasanya sudah siap menghadapi keadaan penjualan fluktuatif. Hari ini sepi pembeli, siapa tahu besoknya laris.