Awan seperti kelambu kelabu. Langit abu-abu menyelimuti kota kecil yang sendu. Gigil mengiringi kaki Kasto melangkah ke dalam kedai.
Disambut pemandangan menggentarkan. Sinar terang semburat dari wajah yang biasanya tidak ada. Cahaya berpendar-pendar indah.
Kening Kasto berkerut, siapakah dia?
Akhirnya penguasaan diri membuat rasa takjub meredup. Berlagak tidak merasa apa-apa, lelaki pendatang itu menghempaskan bokongnya di bangku panjang.
"Biasa. Nasi setengah pakai tumis kangkung dan tongkol balado," serunya kepada Emak seraya mencomot tempe goreng berselimut terigu.
Kedua matanya menelanjangi, berusaha menembus wajah ayu tersipu yang menunduk. Lengan pualam menyorongkan pesanan Kasto. Tangan satu lagi melepaskan segelas teh tawar hangat dari genggaman jemari lentik.
Segera Kasto mengalihkan pandangan kepada sendok garpu di tangan, bagian mana yang hendak diciduk untuk dimasukkan terlebih dahulu ke dalam mulut?
Di dalam benak lelaki bujangan membayang makhluk indah baru saja berada di depan mata. Suap demi suap melewati sistem pencerna secara mekanis. Sonder mengecap rasa sebagaimana biasanya.
Pikiran mengambil alih penilaian terhadap makanan, berganti dengan penasaran yang mengambang di dalam kepala.
"Mak, minta kopi tubruk!"