Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Daripada Penasaran, Nasi Rames Kambing pun Dihajar

1 Oktober 2022   19:55 Diperbarui: 1 Oktober 2022   19:55 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepiring nasi rames isi gule dan sate kambing, acar, serta emping (dokumen pribadi)

Ada dua rasa penasaran kala memasuki waktu makan pada siang tadi. Penasaran yang biasa saja. Dan penasaran yang menghipnotis.

Bagaimana ceritanya?

Penasaran yang Biasa Saja

Penasaran yang biasa-biasa saja terbersit saat berada di Empang, Bogor. Satu daerah di mana sebagian besar penghuninya merupakan etnis Timur Tengah yang sudah beranak-pinak sejak dahulu kala.

Di belakang masjid, dalam sebuah gang terdapat warung legendaris menjual sate. Benar-benar saling berimpitan di dalam gang sempit. Warung yang berbentuk rumah biasa.

Penjual sate kambing itu sudah ada sejak zaman Bapak saya masih aktif sebagai pegawai negeri. Satenya juga istimewa. Murni daging kambing yang empuk dan tanpa campuran gajih/lemak.

Rasa penasaran muncul, masih adakah warung itu? Masih adakah satenya pada siang ini?

Dulu, lebih dari dua puluh tahun lalu, datang ke warung tersebut pada pukul 12.30 siang adalah menemui kekecewaan. Menu tersedia --sate, gule, sop kambing--- sudah habis.

Beberapa kali kesempatan berbeda menghadapi situasi serupa. Agar kebagian, mesti datang sebelum pukul sebelas.

Maka untuk sekadar memastikan apakah buka atau tidak, saya memasuki gang itu. Awalnya sedikit lupa orientasi sehingga bertanya kepada orang lewat.

Ternyata masih ada! Bangunan tampak sama, hanya catnya lebih rapi dan tertata apik. Furnitur gaya lama masih dipertahankan, dengan sapuan pelitur telah diperbaharui. Dinding ruang tempat makan dicat putih. 

Pintu masuk rumah makan sate kambing (dokumen pribadi)
Pintu masuk rumah makan sate kambing (dokumen pribadi)
Tampak nyaman. Terlihat tujuh atau delapan orang sudah terlebih dahulu menunggu pesanan.

Penasaran yang Menghipnotis

Pertanyaan saya, apakah menu makanan masih tersedia dijawab oleh seorang pria yang berdiri di depan.

"Masih ada. Silakan masuk!"

Ah rupanya pengelolaan telah berubah. Dulu sate, gule, sop kambing tersedia dalam jumlah terbatas.

Persediaan yang bakalan habis begitu waktu makan siang tiba. Kira-kira pukul 13.00 WIB tutup. Itu dulu. Sekarang beda. Warung buka sampai jam 4 sore.

Artinya, pada saat jam setengah satu siang tadi olahan kambing itu masih ada.

Maka seperti terhipnotis kaki melangkah ke dalam rumah makan, kendati pikiran melarangnya.

Terngiang ultimatum dokter agar saya menghindari makan makanan tinggi garam/gula, minyak, makanan kemasan, daging merah, dan seterusnya. Daging kambing tergolong daging merah yang diolah menjadi sate dan teman-temannya.

Duh, gimana nih? Terlanjur duduk. Terlanjur membaca daftar menu.

Daftar menu (dokumen pribadi)
Daftar menu (dokumen pribadi)

Setelah dengan saksama menafsirkan naskah dalam daftar menu, untuk kedua kalinya pikiran terhipnotis. Tidak sadar --atau pura-pura tidak sadar-- mulut mengucapkan sesuatu kepada si Embak.

"Nasi rames saja. Minumnya air mineral tidak dingin."

Nasi kebuli kambing, lewati! Nasi goreng kambing, abaikan! Sate kambing, gule kambing, sop kambing, lupakan dulu! Pesan nasi rames saja. Tanpa embel-embel.

Begitu tersaji, di atas nasi putih tergeletak daging kambing digule, sate kambing bumbu kacang, acar, dan emping. Hmmm.. sebaiknya bagaimana ya?

Larangan dan keinginan saling bertengkar, berkecamuk di dalam pikiran. Semakin lama pantangan dari dokter semakin lemah. Semakin lemah kemudian tak terdengar suaranya.

Saya mencoba satu suap nasi dengan sekerat gule daging kambing. Gurih, rasanya pas di lidah. Daging lembut di mulut dan tidak melawan.

Suapan kedua, nasi dengan daging sate bumbu kacang ditambah sedikit acar. Wuenak! Sepertinya daging kambing muda yang mudah digigit dan ditelan habis, tiada sedikit jua lemak yang tertinggal di langit-langit mulut.

Baik daging gule maupun sate tidak terhidu bau prengus. Aroma khas daging kambing yang lumayan kuat. Saya tidak tahu persis, apakah bau muncul sebab teknik penyembelihan kurang tepat, pemilihan jenis kambingnya, atau perlakuan terhadap daging.

Suap demi suap saya nikmati penuh khidmat. Pembenaran yang muncul di benak adalah: demi menebus rasa penasaran. Titik!

Maka, tanpa keraguan sedikit pun nasi rames kambing pun dihajar. Disantap lahap bersama sambal cabai rawit hijau.

Piring licin tandas menyisakan sepotong tulang. Penasaran terbayar lunas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun