Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenaikan Harga-harga dan Ketabahan Pedagang Makanan

22 September 2022   19:58 Diperbarui: 22 September 2022   22:24 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto penjual es loder, bubur ayam, dan mi ayam (dokumen pribadi)

Penjual es loder membeli mi ayam. Tukang bubur membeli es loder. Penjual mi ayam menyantap bubur ayam. Secara tidak langsung muncul kehendak bawah sadar untuk melariskan penjualan satu sama lain.

Dari pembicaraan dengan pedagang kecil di atas, ditambah dengan tangkapan informasi secara visual, maka dapat disarikan beberapa hal berikut:

  • Kenaikan harga bahan tidak lantas membuat pedagang makanan menaikkan harga jual.
  • Mereka mengurangi keuntungan dan isi dalam mangkuk, dalam upaya menyiasati peningkatan harga pokok penjualan.
  • Menganggap kenaikan harga bahan pangan sebagai keadaan yang given, di mana mereka tidak punya kuasa untuk mengubahnya.
  • Mereka memiliki pemahaman umum: yang penting barang dagangan terjual habis. Pokoknya modal bisa berputar secara kontinu.
  • Menghadapi kenyataan kenaikan harga dengan pikiran positif, berkeliling menjajakan dagangan, sabar dan tekun mengais rezeki, serta pasrah tentang hasil kepada Yang Maha Kuasa.
  • Tidak gampang menyerah. Juga peduli satu sama lain dalam menghadapi keadaan sulit.

Tabah! Pedagang makanan yang memiliki ketabahan, kendati bahan baku mengalami kenaikan, sementara harga jual tetap. Mengurangi takaran dalam rangka menyiasati situasi sulit dengan caranya sendiri.

Kata orang-orang pandai, mereka memiliki daya lenting. Mampu beradaptasi dengan situasi sulit. Resiliensi.

Maka, tidak ada ruginya apabila ketika bertemu dengan pedagang makanan semacam itu, kita mengutamakan membeli barang dijajakannya. Berapa pun jumlahnya adalah rezeki bagi mereka.

***

Catatan: artikel ini bukan generalisasi, tapi kesimpulan terkait dengan penjual mi dan bubur ayam tersebut di atas saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun