Alhasil, harga pembuatan mi ayam mengalami kenaikan, sementara harga ke konsumen tetap. Menaikkan harga jual bukan pilihan tepat.
Satu cara menyiasatinya, pedagang mi ayam itu mengorbankan keuntungan. Ditambah sedikit mengurangi isian dalam mangkuk. Dari 12 porsi/kg mi kuning menjadi 13 porsi. Dalam sehari ia rata-rata menghabiskan 3 kg mi kuning.
Dengan demikian, ia mampu mempertahankan jumlah pembeli dengan harga tetap.Â
Pagi itu saya pembeli kedua setelah pedagang es loder di bawah pohon rindang. Harganya mi ayam semangkuk Rp 10 ribu.
Di hari berikutnya, saya berjumpa dengan tukang bubur ayam dorongan. Ia menjalankan strategi serupa dengan penjual mi ayam.
Kenaikan harga beras, ayam potong, bawang tidak serta merta membuatnya menaikkan harga jual. Ia mengenal daya beli warga.
Harga tertinggi adalah Rp 7 ribu per mangkuk. Sedangkan Rp 4.000 -- 5.000 per mangkuk merupakan harga yang umumnya dibayar oleh warga di dalam gang.
Penjual bubur keliling itu pun mengurangi keuntungan dan mengecilkan takaran per porsi. Dua liter beras bahan baku bubur (ekuivalen 2 ltr x 0,753 kg = 1,506 kg) menjadi 40 porsi, dari sebelumnya 35 mangkuk.
Meskipun sudah sarapan, pagi itu saya makan bubur komplit (plus kacang kedelai goreng, seledri, bawang goreng, sedikit kecap manis, sambal, kerupuk). Aliran diaduk! Harganya Rp 5 ribu semangkuk.
Dalam keadaan sulit di mana kadang kala sepi pembeli, para pedagang kecil itu saling membeli barang dijual.Â