Pada akhir keramaian itu, aroma ganjil tak terdefinisi menyelundup memasuki lubang hidung. Bau bulatan berduri telah mengundang pembeli berduit.
Hasil panen kebun-kebun berjajar rapi dalam rak kayu bertingkat-tingkat. Berwarna-warni hijau, kuning, merah yang nyaris membentuk pelangi bersiap ditukar dengan sejumlah rupiah.
Di antaranya, pada bagian terpisah dari hasil tumbuhan yang terasa manis maupun kecut menyegarkan, terletak rak berisi bola-bola berwarna hijau kecokelatan. Permukaannya ditutupi duri-duri. Cukup tajam untuk membuat kulit berdarah, bila tidak hati-hati memegangnya.
Sebagian besar terhampar di atas rak kayu. Dalam jumlah lebih sedikit bergelantungan terikat tali plastik putih. Mereka menyombongkan diri sebagai komoditas termahal di antara buah-buah mahal.
Di depan lapak berderet ibu-ibu berkulit mulus bagai baru dari salon. Bapak-bapak tambun seumpama peragawan keluar dari butik. Bersih. Wangi.
Dari saku atau dari dompet kulit asli atau dari tas kulit buaya, mereka menarik lembaran-lembaran merah, ditukar dengan beberapa buah eksotik diikat tali berwarna putih.
Manusia-manusia kaya yang berbeda dengan seisi pasar. Pengunjung lusuh yang sebagian besar bahkan berangkat tanpa membilas tubuh. Berpakaian seadanya. Bersolek sesempatnya.
Sebagaimana seorang pria yang pada saat matahari baru bangun berangkat terbirit-birit. Mandi terburu-buru sampai-sampai tidak luang menurunkan berat badan. Lantaran tidak ingin sedikit pun kehilangan kesempatan pertama tiba di tempat mencari nafkah.
Terngiang bab makan malam. Dua anaknya menyantap habis nasi kuah gulai nangka dan sejumput daun singkong rebus, setelah seharian menelan angin. Ia dan istrinya mengisi lambung dengan teh tawar.
Ia bercita-cita menghadirkan menu sehat bagi keluarga. Membeli beras, ikan paling murah, dan sayuran segar. Agar anak-anaknya tumbuh sehat, cerdas, lebih baik dari orang tuanya.