Lamunan sang pria ambrol ketika suara riuh hilir-mudik menembus langit yang mulai membakar. Atap seng dan bentangan plastik biru oranye menahan cahaya menusuk-nusuk. Memerangkap udara pencetus peluh bercucuran bersama pengap.
Ia duduk di satu sudut. Menunggu kasih dari bermacam-macam muka. Ada yang menolak halus, ada pula jawab berupa kepala menggeleng dengan bibir datar. Paling banyak, mereka yang mematung pelit kata-kata.
Namun di antara itu semua, ada juga pembeli baik. Membuka dompet kain, menyerahkan keping koin. Pemberi berbeda boleh jadi melempar lembaran senilai ongkos parkir liar.
Di bawah teduhnya tenda, dengan mengabaikan lalu lalang, ia menghitung penghasilan hari ini. Masih terlalu lemah untuk menawar beras dan kawan-kawannya.
Nukilan wajah tak berdosa anak-anak dan istrinya berputar di dalam benaknya. Berpendar pada atap terpal dan penutup seng. Keluh beredar memenuhi udara pengap nan lembap.
Matahari mulai condong ke barat. Ia menunggu kebaikan hati dalam kesia-siaan. Pengunjung berangsur-angsur surut. Sebagian penjual berkemas-kemas. Sisanya bertahan menunggu pembeli.
Waktunya pulang. Ia bangkit. Lunglai mengangkat karung bekas tepung. Kusut masai menyadari perolehan hari ini tidak sesuai harapan. Hasil-hasil kian menciut bersamaan dengan gugurnya angka-angka pada almanak.
Setitik cahaya redup menyala di dalam kepala. Tidak jauh dari pasar, di belakang sebuah rumah makan Padang, besar harapannya makanan tersisa belum diaduk-aduk oleh kucing maupun tikus-tikus berkeliaran.
Sejenak langkahnya terhenti. Pada akhir keramaian itu, aroma ganjil tak terdefinisi menyelundup memasuki lubang hidung. Bau bulatan berduri telah mengundang pembeli berduit.
Mengabaikan buah-buah lainnya, orang-orang dari golongan atas mengerumuni hamparan di rak kayu. Menciumi durian bergelantungan diikat tali plastik putih.
Ibu-ibu memonyongkan bibir menawar hingga harga terendah. Bapak-bapak memilih tanpa banyak omong, membuka dompet demi memperoleh buah kesukaan.