Kegamangan itulah yang terjadi ketika pada tahun 1980 saya menjejakkan kaki di Kota Bogor. Benturan-benturan muncul ketika jajan di luar rumah, yaitu perbedaan istilah, distingsi kebiasaan, dan tolok ukur dalam selera.
Tidak semua membutuhkan adaptasi rasa. Lotek (semacam gado-gado), mi kocok, bakso adalah sebagian makanan cepat diterima oleh lidah.
Satu lagi, dan merupakan barang baru bagi saya, adalah toge goreng.
Penjaja tersohor yang konon "penemu" masakan toge goreng adalah Pak Gebro. Mangkal di satu sudut depan Pasar Anyar.
Takpernah bosan menyantapnya. Pak Gebro kini mungkin sudah tiada.
Katanya, ada penerusnya di pasar tradisional terbesar di Kota Bogor itu. Ada juga di samping Bogor Permai, salah satu restoran legendaris.
Di antara itu semua terdapat satu penjual toge goreng yang memiliki rasa asli, menurut saya.
Dari areal pedestrian lebar Jl. Ir. H. Juanda saya memasuki sebuah gang di samping sebuah hotel yang berjajar dengan kantor-kantor Bank. Jalan kecil itu tembus ke stasiun Paledang.
Deretan warung-warung penjual rokok, toge goreng, bakso, dan soto santan beratap. Tidak kepanasan pun tidak kehujanan saat bersantap.
Seingat saya, empat tahun lalu seorang pria tua melayani. Sekarang tidak tampak. Kepada pria muda saya memesan seporsi toge goreng. Menunggu sejenak.
Penjual itu sedang meracik 5 piring untuk pembeli makan di tempat, 10 bungkus pesanan seorang tamu hotel, dan 3 bungkus untuk pegawai bank.