Gamang. Ketika bertukar tempat tinggal dari Jawa Timur ke Jawa Barat. Beda bahasa, kebiasaan, simbol-simbol budaya, dan cita rasa makanan.
Lidah mengenal rujak cingur, rawon, soto, hidangan hasil laut, dan sebagainya di kota Malang dan Bangkalan. Sedangkan Kota Bogor mengenalkan jenis-jenis makanan berbeda rasa maupun pemahaman.
Misalnya, "rawon" di kota hujan adalah olahan daging cincang, berbeda dengan rawon Malang dari segi komposisi, bumbu, dan rasa. Atau soto santan yang lebih manis daripada soto Bangkalan (di Jawa Timur mungkin ada soto bersantan, tapi tetap bercitarasa gurih).
Jawa Timur mengenal masakan sayur --disebut "jangan"---berisi bayam, kangkung, dan sejenisnya. Di Bogor masakan sayur adalah segala olahan berkuah. Masakan semur bisa disebut sayur semur.
Jangan pula coba-coba memesan petis di kota di mana Istana Kepresidenan itu berada.
"Metis" atau meracik olahan petis adalah mengulek gula merah, sedikit kacang goreng, asam, kadang buah buni, dan cabai. Kemudian dicocol dengan irisan bengkuang, jambu air, mangga muda, pepaya muda. Ibu-ibu muda menyukai olahan ini. Terutama jika disantap saat tanggal muda.
Warga Jawa Timur mengenal petis sebagai ekstrak ikan laut atau udang. Biasa digunakan untuk bumbu rujak cingur, tahu campur, sambal kela celok (kangkung dimasak asem-asem), dan sebagainya.
Umumnya warga di wilayah tersebut lebih mengenal hidangan laut. Sementara kebanyakan penduduk Kota Bogor menggemari ikan mas, gurami, nila, dan ikan air tawar lainnya.
Di sini lalapan daun mentah mendampingi kala makan berat. Orang Jawa Timur akan berpikir dua kali untuk menyantap daun tidak direbus.
Masakan Malang dan Bangkalan cenderung gurih dengan nuansa rasa pedas untuk makanan utama. Pedas bisa jadi berlaku umum, bagi penggemarnya yang berasal dari segala penjuru. Sedangkan Kota Bogor mengenal masakan dengan rasa lebih manis.
Kegamangan itulah yang terjadi ketika pada tahun 1980 saya menjejakkan kaki di Kota Bogor. Benturan-benturan muncul ketika jajan di luar rumah, yaitu perbedaan istilah, distingsi kebiasaan, dan tolok ukur dalam selera.
Tidak semua membutuhkan adaptasi rasa. Lotek (semacam gado-gado), mi kocok, bakso adalah sebagian makanan cepat diterima oleh lidah.
Satu lagi, dan merupakan barang baru bagi saya, adalah toge goreng.
Penjaja tersohor yang konon "penemu" masakan toge goreng adalah Pak Gebro. Mangkal di satu sudut depan Pasar Anyar.
Takpernah bosan menyantapnya. Pak Gebro kini mungkin sudah tiada.
Katanya, ada penerusnya di pasar tradisional terbesar di Kota Bogor itu. Ada juga di samping Bogor Permai, salah satu restoran legendaris.
Di antara itu semua terdapat satu penjual toge goreng yang memiliki rasa asli, menurut saya.
Dari areal pedestrian lebar Jl. Ir. H. Juanda saya memasuki sebuah gang di samping sebuah hotel yang berjajar dengan kantor-kantor Bank. Jalan kecil itu tembus ke stasiun Paledang.
Deretan warung-warung penjual rokok, toge goreng, bakso, dan soto santan beratap. Tidak kepanasan pun tidak kehujanan saat bersantap.
Seingat saya, empat tahun lalu seorang pria tua melayani. Sekarang tidak tampak. Kepada pria muda saya memesan seporsi toge goreng. Menunggu sejenak.
Penjual itu sedang meracik 5 piring untuk pembeli makan di tempat, 10 bungkus pesanan seorang tamu hotel, dan 3 bungkus untuk pegawai bank.
Pembungkusnya unik. Hasil olahan ditempatkan pada daun patat (mirip daun kunyit, memanjang). Setelah diikat dengan tali bambu (atau pandan kering?) ujung memanjang dipotong menggunakan pisau. Kresss....
Di atas tungku kayu bakar, toge (tauge, kecambah) direbus di dalam nampan kuningan dengan sedikit air. Toge sebagai bahan utama rupa-rupanya diolah dengan direbus.
Diaduk-aduk sebentar, lalu diangkat ke atas piring yang sudah berisi potongan lontong, mi kuning basah, dan tahu goreng. Terakhir, disiram dengan saus.
Saus matang dari panci itu istimewa. Merupakan tumisan dari tauco manis, oncom, kecap, bawang, cabai, dan bumbu lainnya.
Pengalaman rasa? Gurih dengan nuansa rasa manis. Gabungan yang membangun rasa enak di indra pengecap. Lidah mencicipi jajanan khas Bogor. Sayang jumlahnya kurang banyak.
Pagi itu penjual demikian sibuk. Tidak sempat mengolah kerupuk mi sebagai teman menyantap toge goreng yang tidak digoreng.Â
Menurut hemat saya, toge goreng yang ternyata direbus ini enak dan cocok bagi penyuka masakan vegetarian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H