Melewati pintu kaca es dengan bingkai kayu berwarna putih, aku melangkah di atas ubin kuno abu-abu tua mengkilap. Disambut oleh ribuan huruf hasil cetakan digital menempel di dinding. Aku tidak tertarik membacanya.
Aku rasa mata wanita penjual tiket masih melekat pada penampilanku. Berusaha membanding-bandingkan. Kecuali turis bule, baru kali ini ada pengunjung berkulit sawo matang berpakaian sekenanya. Barangkali.
Segera setelah memasuki ruangan lebih dalam, lebih remang-remang, kudengar suara pintu kayu berdentam berat. Sebuah bayangan putih berkelebat. Mendampingi langkah kaki menjejak ubin bernuansa dingin.
Aku berhenti sejenak. Ia pun berhenti. Aku melangkah, ia ikut melangkah ke mana kaki melangkah. Memasuki ruang-ruang dingin berbau kayu yang kian mistis, sosok putih itu mengikuti. Mendampingi.
Baiklah rekan. Kau aku anggap pendamping. Pemandu putih yang menemani dalam menjelajahi benda-benda masa lalu, galeri etnobotani dan keanekaragaman hayati Indonesia, batinku.
Pemandu putih setia menemani, sehingga aku tidak merasa kesepian. Ada teman bicara, meski ia tidak menjawab dengan kata-kata bahkan suara.
Aku mengabaikan keingintahuan, mengapa ia tidak bersuara seperti lainnya? Dari mana datangnya?
Semakin memasuki ke dalam, ruang-ruang berliku-liku. Satu ruangan menggambarkan laboratorium kuno dengan mikroskop, tabung reaksi, meja kursi, bahkan mesin ketik antik.
Di kamar lain terdapat lemari kaca menyimpan botol-botol berisi cairan. Keluar dari tempat itu disambut lorong dengan di kiri-kanannya terletak etalase sejarah etnobotani dan keanekaragaman hayati. Pencahayaan yang kurang terang mengesankan suasana misterius.