Saya mulai dengan menghitung segala kemungkinan demi meraih keuntungan. Kerennya, merakit proyeksi keuangan jangka setahun.Â
Lalu mengisi kios dengan kompor, tabung gas, peralatan memasak, kopi dan minuman saset beragam merek, mi instan, dan sebagainya. Dan merekrut adik laki-laki dari ART di rumah.
Bukankah kita mesti serius, kendati menjalankan usaha kecil?
Untuk tiga atau empat bulan pertama saya masih merogoh kantong untuk menutup kekurangan biaya operasional (sewa tempat, gaji, belanja modal). Setelah itu tangan berhenti membuka dompet.
Sedikit demi sedikit usaha warung kopi menampakkan hasil. Tiga bulan beroperasi, warung mencapai titik impas. Poin di mana memperoleh nol keuntungan atau tidak mengalami kerugian.
Bulan-bulan berikutnya adalah menarik laba. Warung ramai pembeli, ditandai oleh persediaan yang habis atau menipis pada akhir hari. Beberapa kiat diterapkan berpengaruh terhadap kinerja usaha:
- Memenuhi kebutuhan pelanggan warnet, dari mulai jajanan anak, kopi seduh, rokok, mi instan (jual mentah dan matang), hingga gorengan (tempe, bakwan, risoles).
- Merespons kebutuhan penghuni kontrakan, seperti bumbu saset, pasta gigi ukuran kecil, sabun cuci kemasan kecil.
- Menyediakan jasa upload dalam tender. Saat itu banyak teman yang pemborong gaptek, tidak mampu menyusun dan menayangkan dokumen penawaran untuk lelang. Maklum, e-procurement baru dikenalkan.
- Para pemborong menunggu di warung sambil jajan. Saya dan teman-teman yang mahir administrasi mengunggah dokumen lelang.
- Menyediakan satu menu unik sebagai daya tarik pembeli, misalnya minuman bandrek yang tidak tersedia di warung sekitar.
Demikian langkah-langkah yang saya lakukan demi menyiasati lokasi kurang menguntungkan untuk membuka warung.Â
Namun bukan itu yang menjadi ulasan dalam artikel ini.
***
Setelah sembilan bulan beroperasi, pemilik kontrakan menginformasikan: bulan depan agar saya berkemas-kemas dan mencari tempat lain. Ia akan merenovasi warung menjadi tempat kontrakan.