Sore berkabut yang ganjil. Nurani meronta-ronta. Pikiran ruwet terpicu perintah atasan untuk melaksanakan pembunuhan.
Pukulan keras pada ubun-ubun menyebabkan ia menggelepar-gelepar menahan sukma agar tidak pergi. Aku tercekat, menyebabkan --kali ini terlibat langsung--- nyawa melayang. Menegangkan.
Sempat hendak mundur saja, tetapi ada banyak desakan berkecamuk di dalam batok kepala. Keadaan paling menggetarkan sehingga membuat akal jernih tidak mampu menahan ayunan tangan, adalah seseorang berkumis yang berkacak pinggang memberikan aba-aba dengan terburu-buru.
"Woy, woy, woy .... Cepat bikin mati. Pukul semua! Lamban amat sih?"
***
Aku dilahirkan dan dibesarkan di keluarga baik-baik di sebuah pedesaan asri. Lingkungan pertumbuhan di mana tidak pernah ada kata-kata kasar, bentakan, maupun pukulan.
Semua berlangsung dengan sentosa tanpa perbuatan-perbuatan saling menyakiti di antara anggota keluarga. Bahkan terhadap makhluk yang ada di sekitar. Anasir bernyawa maupun benda mati.
Di halaman rumah yang lumayan panjang dengan cukup lebar, pada satu sisi dibangun kolam untuk menanam ikan mas dan lele. Dibuat terpisah, bila tidak demikian mereka akan saling bertengkar. Satu hal yang tidak dikenal di keluarga kami.
Di bagian atas dari kolam lele dirakit kandang terbuat dari bilah bambu untuk menampung ayam dengan pintu keluar bersinggungan dengan tanah. Maka lantai bilah bambu memuluskan kotoran ayam meluncur ke air dan langsung menjadi santapan ikan lele.
Dengan demikian uap kotoran ayam tenggelam ke dalam kolam, tiada kesempatan untuk menguarkan aroma tak sedap.