Eksistensi relawan menjelang Pemilu bukan hal baru. Tidak terinformasi persis kapan lahirnya, komunitas relawan tumbuh dari bawah. Mestinya.
Bukan bentukan kandidat yang turut dalam pemilihan pejabat publik melalui pemungutan suara, maupun partai politik pengusung. Lahir di tangan sekelompok warga negara yang tidak terafiliasi dengan satu pun peserta pemilu.
Kelompok relawan yang bertunas dari permukaan tanpa disiram uang dan campur tangan dari elite politik.Â
Murni karena simpati kepada kandidat tertentu. Mendukung dalam bentuk sosialisasi, pendidikan politik, dan kampanye non-parpol.
Setidaknya itu yang saya alami, ketika menjadi relawan politik pada tahun 2004.
Satu kandidat menarik simpati banyak orang lantaran "dizalimi" oleh Megawati. Mundur sebagai Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong. Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri sebagai presiden.
Saya menjadi relawan dalam rangka pemenangan SBY-JK. Tergerak untuk menyukseskan pencalonan mereka dalam Pilpres 2004.
Pembentukan tim relawan waktu itu adalah pengejawantahan rasa simpati dan keinginan agar figur tersebut dapat mengisi regenerasi kepemimpinan nasional.
Kegiatan relawan adalah melakukan sosialisasi, mempengaruhi massa mengambang, meramaikan kegiatan kampanye akbar di Jakarta, dan sebagainya.
Adalah seorang pemborong senior di Kota Bogor mengajak menjadi relawan. Tanpa imbalan. Menyisihkan waktu, mengeluarkan tenaga dan pikiran. Kalau perlu ikut menyisihkan uang.
Sehari-hari sebagian besar anggota merupakan pengusaha bidang konstruksi. Sumber pembiayaan berasal dari kantong anggota dan donatur.
Tidak sepeser pun dari partai pengusung yang saat itu baru dibentuk di Kota Bogor. Malahan, pengurus partai gamang ketika diajak bekerja-sama.Â
Boro-boro uang, gagasan untuk mengadakan acara pemenangan di Kota Bogor pun tak punya.
Gemes melihat pengurus partai pengusung yang lamban. Hanya menunggu anggaran partai.
Tim relawan sepenuhnya menanggung biaya penyelenggaraan acara, pencetakan poster, produksi kaos, biaya sewa bus untuk mengangkut partisipan ke kampanye akbar di Jakarta.
Partai lebih fokus kepada kegiatan internal dan, mungkin, kegiatan-kegiatan dibiayai oleh pengurus pusat.
Seusai Pilpres 2004 di mana SBY-JK berhasil duduk sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Tim Relawan bubar.Â
Inisiator memperoleh penghargaan. Anggota memperoleh ucapan terima kasih dari inisiator yang merupakan pemborong senior itu.
Akhirnya, semua orang yang terlibat dalam Tim Relawan kembali kepada kegiatan sehari-hari.
Saya juga kembali fokus dalam merintis usaha. Membangun kerajaan sendiri yang menghasilkan uang.Â
Tidak pernah lagi ikut-ikutan menjadi relawan pada periode selanjutnya. Sampai sekarang.
Dengan pengalaman singkat di atas, paling tidak saya melihat relawan politik sebagai:
- Salah satu bentuk partisipasi politik spontan dari kelompok masyarakat.
- Biaya operasional Tim Relawan murni berasal dari kantong warga pribadi, bukan dari kandidat dan partai.
- Inisiatif pembentukan tumbuh dari bawah, bukan wujud dari strategi elite politik.
- Muncul sebagai reaksi warga terhadap kelambanan pengurus partai pengusung.
- Relawan tidak mengharapkan imbalan, penghargaan, maupun jabatan sebagai timbal balik atas "jasa-jasa" yang telah dilakukan, selain dari keberhasilan "jagoannya" meraih jabatan publik.
Begitu pemahaman relawan politik versi saya: murni gerakan dari bawah, sumber biaya sendiri, dan tidak berharap imbalan pun jabatan.Â
Tidak ada pertukaran politik.
Itu 18 tahun lalu. Entah sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H