Adalah sangat penting membayar hutang perbuatan buruk yang tidak kita tahu jumlahnya, dengan berbuat kebajikan. Jangan tanya: sampai kapan selesainya?
Saat mengendarai kendaraan lawas, beberapa kali bertemu dengan mobil sejenis. Pengemudinya melambaikan tangan. Tersenyum. Saya pun membalas dengan santun.
Berikutnya, saya jadi kerap melihat atau bertemu mobil yang sudah tidak diproduksi lagi itu. Pengamatan terhadap kendaraan sekarakter menjadi lebih awas, bisa jadi sebab memiliki "nasib" sama: kuno yang antik dan jarang ada di jalanan.
Kelak kesamaan hobi terhadap kendaraan unik itu melahirkan sebuah komunitas penggemar. Ikatan yang terbentuk secara alami karena ada kesukaan sama, keinginan serupa, tujuan sebangun. Atau sebab karakteristik yang sekeadaan.
Faktor kepentingan komunal pula yang kemudian menubuhkan komunitas. Sebuah klub penggemar mobil Volkswagen dengan mesin berpendingin udara. Bukan VW keluaran baru seperti yang kita kenal belakangan ini.
Perubahan
Menjadi ketua komunitas otomotif tidak lama. Memang masa jabatan hanya untuk dua tahun. Saya menolak suara anggota agar melanjutkan kepengurusan.
Posisi sebagai pegawai baru pada sebuah perusahaan di Jakarta, bakal membuat tidak fokus mengurus komunitas. Kesibukan bertambah, seiring dengan kepindahan kerja ke perusahaan induk dari beberapa entitas usaha. Maklum, pada usia produktif bersemangat membangun kejayaan pribadi.
Pindah lagi. Di perusahaan terakhir bisa "nyambi" membangun usaha sendiri, misalnya menjadi konsultan bisnis kuliner dan usaha pengadaan barang.
Pungkasan karier, maka pada tahun-tahun terakhir fokus kepada usaha pengadaan barang dan jasa, khususnya di bidang konstruksi.
Dengan kata lain, selama dua puluh delapan tahun mau tidak mau, suka tidak suka, saya berhadapan dengan perubahan-perubahan. Bisa perubahan ke arah lebih atau, sebaliknya, tidak selalu baik. Tidak baik artinya tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan semula.
Kegiatan usaha belakangan terkait dengan pembangunan fisik. Umumnya mengerjakan proyek pemerintah. Ternyata pekerjaan di bidang ini paling menyita banyak waktu, konsentrasi, pikiran, dan tenaga.
Namun aktivis fisik dan pikiran seketika berhenti pada akhir tahun 2018, ketika semua rencana belum sepenuhnya terwujud.
Refleksi
Nyaris dua tahun pertama setelah itu saya merasa "habis". Tidak berdaya. Hanya bisa menyalahkan keadaan (tanpa sadar juga menyalahkan Tuhan). Perenungan mendalam akhirnya memutar ulang kilas balik kehidupan sebelum ketidakberdayaan, yaitu;
Menyakiti orang lain. Perjalanan dalam rangka meraih kejayaan menyebabkan orang lain tersakiti, disadari atau tidak. Misalnya, ketika memanjat tangga karier mungkin saja saya menginjak kepala orang. Atau dalam proyek, terlalu perhitungan demi memupuk laba, dengan mengabaikan orang-orang yang ingin merasakan uang proyek.
Tidak berbuat kebajikan. Selama masa itu pula, saya melupakan untuk berbuat kebajikan kepada sesama makhluk. Umpamanya, menebang pohon tanpa menggantinya demi lahan proyek. Membuat sumur lebih dari 60 meter untuk kepentingan proyek, yang berpotensi menyurutkan sumur-sumur warga.
Membayar Hutang Perbuatan
Contoh-contoh di atas merupakan setetes perilaku, dari samudera perbuatan buruk yang takkan cukup diceritakan di sini.
Saya patut mengucapkan syukur, masih diberi peringatan oleh sang Pemilik Kehidupan. Coba dalam keadaan sehat tiba-tiba dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatan buruk?
Oleh karena itu, sekarang, fokus pikiran dan pekerjaan, jika ada, adalah berbuat kebajikan demi membayar hutang perbuatan, yang entah jumlahnya berapa.
Tidak perlu menghitung berapa atau jangka waktu pelunasan, paling pokok adalah melakukan kebaikan dengan tidak mengulangi keburukan-keburukan.
Saya percaya, berbuat kebajikan bagi sesama makhluk tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi menghadirkan kebaikan untuk anak-cucu kelak di waktu yang saya tidak pernah tahu.
Demikian pula sebaliknya, perbuatan buruk tidak hanya berakhir pada diri sendiri. Dampaknya akan menimpa penerus.
Jadi, adalah sangat penting membayar hutang perbuatan buruk yang tidak kita tahu jumlahnya dengan berbuat kebajikan. Jangan tanya: sampai kapan selesainya?
Perspektif Identitas yang Sebangun
Kepercayaan diri membawa saya lebih mandiri. Yaitu dengan cara aktif menulis di Kompasiana dan sering menguatkan fisik dengan cara berjalan kaki. Bisa menyusuri gang. Pergi ke alun-alun. Ke lapangan di mana ada keramaian. Ke mana saja yang sekiranya masih sanggup ditanggung badan.
Saya bertemu dengan berbagai orang berkarakteristik yang sekeadaan. Memiliki persoalan kesehatan serupa. Kolesterol, tekanan darah tinggi, diabetes, atau karena jatuh terbentur di bagian kepala menjadi lantaran serangan stroke.
Belakangan saya tidak jarang bertemu dengan mereka. Atau malah "dipertemukan?" Entahlah.Â
Penderita stroke lekas mengindentifikasi satu sama lain. Cepat akrab berbincang, kendati belum saling mengenal nama. Barangkali karena senasib. Sebuah perspektif identitas yang sebangun.
Orang-orang itu menimbang dirinya sama dengan saya, tapi sebagian belum mampu berlaku seperti saya. Tepatnya begini, saya kerap bertemu dengan setidaknya 9 orang penderita stroke dalam radius 500m dari rumah. Sebagian bersemangat hidup, sebagian lagi pesimis.
Tiga orang yang bila bertemu selalu saling menyemangati, biarpun tiada satu pun yang tahu kapan akan pulih kembali. Sisanya tampak putus asa dengan hanya mampu dan mau duduk saja sambil berjemur. Diajak jalan-jalan enggan, karena merasa belum tumbuh rasa percaya dirinya. Merasa hidupnya sudah "habis".
Klub Stroke
Ketika sedang menjalani rehabilitasi medik di sebuah rumah sakit, dokter spesialis menyatakan bahwa klub stroke belum ada di kota Bogor.
Padahal, katanya, klub stroke berperan penting dalam upaya saling mendukung di antara penderita stroke. Ia merupakan wadah pertemanan dan pertemuan rutin yang menyediakan ruang untuk:
- Berbagi pengalaman atau saling bertukar pikiran.
- Berkegiatan sosial.
- Menjalin komunikasi, baik bagi penderita stroke maupun pendamping (keluarga atau caregiver).
- Saling memotivasi dan menginspirasi.
- Sarana edukasi, seperti melaksanakan perilaku hidup sehat, mencegah serangan stroke berulang, dan sebagainya.
- Olahraga bersama.
- Menyelenggarakan kegiatan di alam terbuka (outings)
Itu cita-cita yang saya bayangkan. Entah bagaimana caranya, satu ketika mesti terwujud.
Akhirul Kata
Ternyata di lingkungan terdekat dengan mudah saya menjumpai penderita stroke. Dalam sejumlah perjumpaan dengan mereka dibangun pembicaraan positif, antara lain:
- Saling menguatkan.
- Bertukar informasi.
- Menyarankan pengobatan medis, daripada penyembuhan alternatif.
- Membesarkan semangat agar mandiri (dari berkursi roda ke tongkat; dari tongkat 4 kaki ke 1 kaki; bisa lepas tongkat; dan seterusnya).
- Memberi contoh bahwa penderita stroke pun bisa berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh.
Apakah berbuat kebajikan tersebut demi membayar hutang perbuatan pada masa lalu?
Rasa-rasanya saya sudah tidak memikirkan hal itu. Pokoknya rekan-rekan senasib tersebut bisa tumbuh rasa percaya diri sehingga bisa bangkit, kendati rasa pesimisnya membukit.
Bukan demi mengejar target agar mereka menjadi normal. Atau menjadi sembuh. Bukan. Tetapi agar penderita stroke yang saya temui dapat menjalani hidup dengan lebih baik. Itu saja sih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H