Demikian pula sebaliknya, perbuatan buruk tidak hanya berakhir pada diri sendiri. Dampaknya akan menimpa penerus.
Jadi, adalah sangat penting membayar hutang perbuatan buruk yang tidak kita tahu jumlahnya dengan berbuat kebajikan. Jangan tanya: sampai kapan selesainya?
Perspektif Identitas yang Sebangun
Kepercayaan diri membawa saya lebih mandiri. Yaitu dengan cara aktif menulis di Kompasiana dan sering menguatkan fisik dengan cara berjalan kaki. Bisa menyusuri gang. Pergi ke alun-alun. Ke lapangan di mana ada keramaian. Ke mana saja yang sekiranya masih sanggup ditanggung badan.
Saya bertemu dengan berbagai orang berkarakteristik yang sekeadaan. Memiliki persoalan kesehatan serupa. Kolesterol, tekanan darah tinggi, diabetes, atau karena jatuh terbentur di bagian kepala menjadi lantaran serangan stroke.
Belakangan saya tidak jarang bertemu dengan mereka. Atau malah "dipertemukan?" Entahlah.Â
Penderita stroke lekas mengindentifikasi satu sama lain. Cepat akrab berbincang, kendati belum saling mengenal nama. Barangkali karena senasib. Sebuah perspektif identitas yang sebangun.
Orang-orang itu menimbang dirinya sama dengan saya, tapi sebagian belum mampu berlaku seperti saya. Tepatnya begini, saya kerap bertemu dengan setidaknya 9 orang penderita stroke dalam radius 500m dari rumah. Sebagian bersemangat hidup, sebagian lagi pesimis.
Tiga orang yang bila bertemu selalu saling menyemangati, biarpun tiada satu pun yang tahu kapan akan pulih kembali. Sisanya tampak putus asa dengan hanya mampu dan mau duduk saja sambil berjemur. Diajak jalan-jalan enggan, karena merasa belum tumbuh rasa percaya dirinya. Merasa hidupnya sudah "habis".