"Apa yang engkau pikirkan lagi? Segera operasional-kan sesuai peta-jalan yang sudah kita buat!"
Dengan gesit pria yang sudah tidak kurus lagi menggali uang dari sumber-sumber yang mustahil disebut sah. Pekerjaannya sistematis. Memenuhi kaidah pengumpulan uang dalam senyap. Juga tidak tercatat pada kertas mana pun di seluruh wilayah negeri maupun di dalam memori komputer.
Akan tetapi ia melupakan satu hal: bahwa neraca keuangan senantiasa jujur. Lama-lama timbangan menjadi timpang. Tidak seimbang.
Pemeriksa lapis pertama bisa disumpal. Pemeriksa lapis kedua, ketiga masih mau menelan uang haram. Namun kecurigaan atas kecurangan tidak dapat disamarkan dari pandangan jeli para pengamat dan rakyat.
"Engkau segera menyingkir lah. Aku tidak mampu lagi melindungi dari pantauan. Bagaimanapun partai harus bersih."
"Tapi.... Instruksi awal datangnya dari ruangan ini?"
"Tidak ada catatan dan rekaman perihal itu. Perbuatan curang di negeri ini hukumannya amat berat," pria tambun menegaskan, seraya membuka pintu jati dan mengarahkan telapak tangannya ke arah luar.
Pria yang sudah tidak kurus lagi, tapi mulai kurus kembali, memikirkan segala kemungkinan memusingkan kepala. Hingga tiba saat memilih malam paling kelam, mengendap-endap, menyelinap di antara hunian telah lelap.
Ia berhasil mengelabui CCTV yang recorder-nya mendadak rusak, pengamatan petugas (yang sebagian terpaksa ia tutup matanya dengan lembaran-lembaran merah), dan pandangan umum. Sehingga pria yang sudah tidak kurus lagi, tapi mulai kurus kembali itu tiba di tujuan.
Bukan pulang ke kampung halamannya, tetapi di lokasi paling tepi. Tempat paling sepi di antara ruang paling sunyi, di mana tiada satu pun manusia yang sanggup tinggal di sana.
Suasana ganjil menyergap, kala pertama menepi di ruang paling sepi. Bisik angin pada dedaunan. Gendang dalam kepala menyerap nada hampa tanpa suara.