Aku menulis di sepotong kertas bekas bungkus, pada bagian kosong, angka satu diikuti banyak nol. Melipat menjadi empat. Melemparkan ke air deras.
Naik turun, hanyut mengikuti aliran menggelegak akibat pertemuan dua sungai dari gunung berbeda.
Perpindahan air dari atas membawa butir-butir tanah yang tidak diikat oleh hijauan, apalagi akar pepohonan yang mana kayunya telah menjadi tiang, pintu, dan jendela rumah.
Mengalir deras tidak peduli batu-batu kecil menggelinding pasrah. Bila menabrak batu kokoh, akan memecahkan diri menjadi kepingan-kepingan yang kemudian pada ujungnya berkumpul kembali. Dua aliran meluap-luap bertumbukan. Bertemu. Tempuran.
Pertempuran berlaku sangat cepat, menggelombang-gelombang dengan buih-buih berlompatan. Bersuara lebih dahsyat daripada hujan yang paling lebat.
Kita tidak bakal mengetahui, air mana yang berasal dari gunung Salak atau yang berhulu di puncak Gunung Pangrango. Alam tidak sempat membahas perbedaan, pun warna dan asal muasal.Â
Semua diperlakukan setara. Serupa anak-anak kandung bertengkar. Lalu damai menyelimuti.
Kemudian inspirasi ini dan, tentu saja, energi dari pertempuran tanpa pertumpahan darah menghadirkan ketenangan bagiku yang sedang mengalami pergolakan batin.
Kepada Sungai Harapan aku menyampaikan keluh kesah, menumpahkan amarah, dan menitipkan percikan asa agar bangkit dari kesulitan.
Tidak sedikit orang memercayainya. Pada malam-malam Jumat Kliwon, terutama malam Suro, berbondong-bondong orang dari berbagai kalangan mendatangi Sungai Harapan. Tidak terkecuali para wanita yang mengenakan pakaian tertutup dan berkerudung sesuai hukum.