Padahal hanya memberi tanda kasih kepada guru. Â Mosok sih dianggap tindakan korupsi? Pemberi dan penerima terkena pasal gratifikasi. Bagaimana bisa?
Saya mengenal memberi hadiah kepada guru sejak masih usia SD. Merasakan pengalaman itu setiap orang tua saya memberikan kenang-kenangan bagi guru wali kelas, setelah penerimaan rapor.
Pengalaman berulang menghasilkan persepsi bahwa memberi hadiah adalah kelaziman dalam menghargai perjuangan guru. Umumnya para orang tua murid melakukannya.
Pada periode berikutnya, saya pun mengejawantahkan kebiasaan sama. Memberi hadiah untuk guru anak saya seusai pembagian rapor. Jengah bila tidak memberi.Â
Berhenti, ketika anak saya duduk di bangku perguruan tinggi.
Sekarang timbul kegelisahan, apakah pemberian tersebut termasuk gratifikasi? Apakah ia dapat melanggengkan tindak pidana korupsi?
Saya selama 12 tahun menyelesaikan pendidikan di sekolah negeri. Demikian pula dengan anak saya. Maka guru-guru yang diberi hadiah adalah pegawai yang memperoleh gaji dari anggaran negara.
Padahal Undang-Undang melarang memberikan hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya. Juga melarang pegawai negeri menerima hadiah.
Selama itu pula saya tidak menyadari terlibat di dalam tindak pidana korupsi. Ditambah ketika menjadi pemborong proyek pemerintah. Beuh, berapa lama saya melakukan perbuatan curang?
Undang-Undang merumuskan 30 jenis korupsi, termasuk memberi hadiah kepada pegawai negeri. Juga pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya. Tiga puluh jenis korupsi itu dikelompokkan menjadi 7 tindak pidana korupsi, di antaranya gratifikasi. (Selengkapnya dapat dibaca di kpk.go.id)
Jadi selama itu pula saya turut serta melestarikan tindak pidana korupsi. Menganggap lumrah memberikan hadiah kepada guru wali kelas yang merupakan pegawai negeri.
Coba beliau-beliau bukan guru anak saya? Belum tentu saya mau memberikan gratifikasi.
Gratifikasi sendiri mencakup pemberian berupa uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas sejenis lainnya. Kecuali penerima melaporkannya kepada KPK (sumber).
Apakah ada batasan jumlah? Tidak disebutkan tentang batas nilai gratifikasi yang harus dilaporkan.
Namun tentu saja ada gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan kepada KPK, misalnya: menerima dari keluarga yang memiliki pertalian darah, asalkan tidak ada benturan kepentingan; hadiah dalam penyelenggaraan pesta pernikahan atau semacamnya; pemberian terkait dengan musibah yang menimpa penerima; dan sebagainya. (Selengkapnya di kompas.com)
Akhirul Kata
Merupakan hal lumrah memberikan kenang-kenangan kepada guru wali kelas setelah pembagian rapor. Kelaziman yang umumnya berlaku sebagai ucapan terima kasih orang tua kepada pendidik.
Tapi siapa sangka?Â
Ternyata hadiah untuk guru yang pegawai negeri terhitung sebagai tindak pidana korupsi. Juga bagi guru pegawai negeri selaku penerima, dianggap terlibat dalam pasal gratifikasi.
Perbuatan korupsi tersebut secara tidak disadari telah melembaga di lingkungan pendidikan. Tempat di mana generasi penerus menyerap pelajaran diberikan. Pun teladan yang diperlihatkan oleh para orang tua dan guru.
Maka, tiba saatnya untuk memutus mata rantai korupsi yang menggurita. Dengan melakukan langkah kecil: tidak memberikan hadiah untuk guru!
Dengan maksud, semata-mata agar generasi penerus "tidak tertular" kelaziman tersebut. Seraya memimpikan, suatu ketika negeri kita terbebas dari korupsi.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H