Usai mengisi saluran pencernaan dengan makanan enak, giliran tenggorokan dimanjakan dengan sesendok demi sesendok es campur. Lalu menikmati senja dengan pemandangan gadis-gadis cantik di tepi jalan dan di dalam angkot.
Tidak seperti di Jakarta, di mana gadis cantik identik dengan kegemerlapan: dipajang di dalam mobil mewah atau mal megah berhawa dingin. Di Bandung, mata dengan mudah menjumpai mojang geulis berjalan kaki atau naik kendaraan umum.
Ah, sudahlah...
Rudolfo naik ke atas sadel sepeda motor, menghidupkan mesin, dan bersiul di sepanjang jalan Sunda. Menuju hotel. Ingin segera tiba untuk merebahkan badan.
Berbaring sebentar di atas queen large bed beralaskan seprei putih. Merenung. Saat itu baru terasa tulang-belulang bagai berpisah-pisah. Petualangan yang teramat melelahkan.
Melakukan perjalanan jauh dengan sepeda motor sudah lama berlalu ketika masih bujangan. Usia juga tidak bisa bohong.
Ingin dipijat. Agar rileks dan enak tidur pada malam hari ini.
Rudolfo teringat satu ketika yang sangat lampau, dipijat oleh seorang pria berusia mapan. Tenaganya kuat. Pengalaman mengurut urat-urat dan pengetahuan tentang otot-otot sangat mumpuni.
Sehingga Rodolfo merasa segar setelah mendapatkan terapi. Tidur pun sangat pulas.
Saat ini kehendak tidak bersepakat dengan keengganannya untuk keluar kamar dan pergi. Sebuah ketidak-mauan yang bertentangan dengan kebutuhan pijat.
Rudolfo memencet tombol pada pesawat telepon, berbicara sejenak kepada petugas. Kurang dari setengah jam terdengar suara ketukan di pintu kamar, pelan.