Istri seorang kawan takjub. Melihat saya tertatih-tatih menyeret sebelah kaki tanpa mengeluh sedikit pun.
Tidak hanya sekali, setidaknya dua kali suaminya minta bantuan, kendati kondisi kesehatan saya belum benar-benar pulih dari penyakit asam urat.
Kejadian Pertama. Ketika hendak ikut lelang, kontraktor senior itu minta tolong ke saya agar memonitor proses perakitan dan pemasukan dokumen.
Sebelumnya pekerjaan tersebut sudah dipasrahkan kepada satu pegawai yang terbiasa dalam pengerjaan proses lelang dari pemborong senior lainnya. (Belakangan wanita kontraktor itu dipanggil oleh KPK sebagai saksi, dalam kasus Bupati non-aktif Kabupaten Bogor Ade Yasin).
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi kawan saya lebih afdal apabila saya ikut terjun mengawal langkah-langkah administrasi itu.
Kejadian Kedua. Bersama sopirnya menjemput saya agar ikut mengawasi pekerjaan pemasangan drainase beton pracetak (U-ditch). Hari sudah larut pula.
Memang pemasangan saat malam hari dipandang lebih aman dan cepat, mempertimbangkan manajemen lalu lintas di sekitar lokasi pemasangan saluran air limbah pinggir jalan.
Beberapa kali akhirnya saya tidak pulang ke rumah. Sebab selesainya pekerjaan rata-rata menjelang subuh, saya pun diajak menginap di rumahnya.
Dalam dua kejadian itu kondisi saya masih payah. Belum sepenuhnya pulih dari gejala penyakit asam urat. Berjalan masih terhuyung-huyung.
Tanpa obat-obatan biasanya penyakit asam urat akan hilang seminggu setelah gejala awal muncul.
Awalnya dimulai dari rasa nyeri, lalu sendi kaki bengkak. Kemudian pada hari berikutnya rasa nyeri menghebat dan bengkak memerah. Menjelang sembuh, kulit di sekitar pembengkakan menghitam. Perih masih terasa, meski tidak sehebat sebelumnya.
Nah, saat dijemput oleh pria berbadan besar itu kondisi masih dalam tahap pemulihan. Rasa ngilu masih menyiksa. Untuk itu saya terpaksa minum obat penahan nyeri, agar bisa bangkit dan berjalan.
Pastinya cara berjalannya tidak sempurna. Kaki yang terserang pembengkakan dan nyeri terpaksa sedikit diseret. Menahan sakit!
Dalam keadaan-keadaan itulah istri kawan saya itu memandang takjub, "belum sembuh benar, kok sudah bisa jalan-jalan, bahkan berkegiatan seperti biasa?"
"Mau gimana lagi?"
"Kalau bapaknya kayak anak kecil."
Selanjutnya ia bercerita, ketika suaminya merasa sedikit sakit, mengeluh panjang lebar. Sakit lebih berat, inginnya berbaring terus-terusan dan mengeluh tentang segala hal secara berkepanjangan.
Wanita bertubuh subur yang kebal keluhan itu berujar, "Anda tampak biasa. Tidak mengeluh, walaupun sedang sakit. Beda dengan suami saya."
Bagi saya adalah suatu hal sia-sia, menyatakan kesusahan dan berpikir negatif ketika sakit. Tak bisa menerima kenyataan dan keadaan. Percuma!
Mengeluh berkepanjangan malahan memakan pikiran dan tenaga. Energi sudah terkuras demi menahan sakit.
Saya pun menutup pembicaraan, "saya akan membelinya, andai mengeluh mampu menyembuhkan penyakit asam urat. Jadi untuk apa mengeluh?"Â