Awalnya dimulai dari rasa nyeri, lalu sendi kaki bengkak. Kemudian pada hari berikutnya rasa nyeri menghebat dan bengkak memerah. Menjelang sembuh, kulit di sekitar pembengkakan menghitam. Perih masih terasa, meski tidak sehebat sebelumnya.
Nah, saat dijemput oleh pria berbadan besar itu kondisi masih dalam tahap pemulihan. Rasa ngilu masih menyiksa. Untuk itu saya terpaksa minum obat penahan nyeri, agar bisa bangkit dan berjalan.
Pastinya cara berjalannya tidak sempurna. Kaki yang terserang pembengkakan dan nyeri terpaksa sedikit diseret. Menahan sakit!
Dalam keadaan-keadaan itulah istri kawan saya itu memandang takjub, "belum sembuh benar, kok sudah bisa jalan-jalan, bahkan berkegiatan seperti biasa?"
"Mau gimana lagi?"
"Kalau bapaknya kayak anak kecil."
Selanjutnya ia bercerita, ketika suaminya merasa sedikit sakit, mengeluh panjang lebar. Sakit lebih berat, inginnya berbaring terus-terusan dan mengeluh tentang segala hal secara berkepanjangan.
Wanita bertubuh subur yang kebal keluhan itu berujar, "Anda tampak biasa. Tidak mengeluh, walaupun sedang sakit. Beda dengan suami saya."
Bagi saya adalah suatu hal sia-sia, menyatakan kesusahan dan berpikir negatif ketika sakit. Tak bisa menerima kenyataan dan keadaan. Percuma!
Mengeluh berkepanjangan malahan memakan pikiran dan tenaga. Energi sudah terkuras demi menahan sakit.
Saya pun menutup pembicaraan, "saya akan membelinya, andai mengeluh mampu menyembuhkan penyakit asam urat. Jadi untuk apa mengeluh?"Â