Di dalam tenda tampak belasan pengunjung. Masih ada tempat untuk mendaratkan tubuh. Dikelola oleh Mang Bonin sejak tahun 1995 sampai sekarang. Merupakan kelanjutan usaha yang dirintis ayahnya dari tahun 1987.
Tidak pakai lama, pesanan datang. Nasi setengah plus semangkuk soto. Kuahnya bening, tidak banyak aksesoris.
Beberapa kerat daging memenuhi mangkuk, ditemani oleh irisan risoles. Risoles ini bukan pastry berisi daging dan berlapis tepung panir, tapi dadar terigu yang diisi bihun kemudian digulung dan digoreng.
Biasanya risoles, atau kroket isi bihun, digunakan untuk campuran soto mie bersama mi dan rajangan kubis. Ke dalam kuah soto, Mang Bonin hanya menambahkan risoles. Jadi ia bukan soto mie seperti dipromosikan oleh kawan di atas.
Ini adalah soto daging kuah bening!
Saya mencomot perkedel dari meja sebelah, lalu menyendok kuah tanpa sambal yang sudah ditambahkan perasaan jeruk nipis.
Oh ya. Saya minta kepada penjual agar tidak membubuhkan micin, supaya dapat dinilai, apakah kuah soto betul-betul sedap. Bukan gurih artifisial.
Ternyata enak banget! Kuah gurihnya berasal dari kaldu daging sapi. Mengingatkan saya kepada olahan kuah kaldu buatan almarhum Ibu saya. Sedikit berbeda di bumbu.
Rasa bumbu samar. Satu kombinasi rahasia yang menciptakan rasa sedap tiada bandingnya. Risolesnya terasa garing. Tidak cepat lembek seperti biasanya. Pemahaman saya tentang soto bening berubah.
Harganya relatif terjangkau. Kami bertiga membayar Rp 72 ribu untuk tiga mangkuk soto, tiga perkedel, tiga kali setengah piring nasi, dan sebungkus emping.