Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan ke Kampung Halaman

30 April 2022   16:55 Diperbarui: 30 April 2022   17:00 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seraya mencubit kulit, matahari perlahan memanjat langit. Kaca jendela tenggelam, membiarkan udara menerobos masuk. Bersama bau sangit pelat kopling, lenguh mesin, dan asap knalpot.

Aku cemas, menatap deretan mobil berkerumun di semua lajur. Sesekali bergerak maju. Lebih banyak berhenti. Macet di jalan bebas hambatan sudah dari tadi. Tiada jalan untuk menarik langkah. Maju pun tidak tampak gerbang keluar jalur tol dipandang dari belakang setir.

Semua orang berlomba-lomba dari Jakarta menuju timur. Semua terburu-buru demi selekas-lekasnya tiba di tempat tujuan. Sampai ketika semuanya terbendung lalu lintas membeku.

Aku menghela napas. Menurunkan adrenalin yang sempat dirasuki arwah Aryton Senna.

"Ah, macet. Persoalan klasik yang tidak pernah dapat diselesaikan."

Pikiran melambung ke kampung halaman yang masih tiga perempat dari seluruh panjang perjalanan. Dengan cepat pikiran surut ke belakang. Getun: kenapa tidak berangkat tengah malam?

Malah tidur. Berangkat tidak lama setelah sarapan dan minum kopi. Kopi?

Haaaah...?!!??

Mendadak kedua kaki lemas. Cemas bertumpuk-tumpuk, seolah tiada hal yang lebih patut dicemaskan daripada kecemasan pada saat ini.

Bayangan kesibukan sebelum berangkat, sewaktu sang surya masih rebah di ufuk, berputar cepat. Menyorotkan fragmen-fragmen riuh di pelupuk mata.

Anak-anak yang enggan bangun. Teriakan istri mendesak mereka agar segera mandi, sementara kedua tangannya sibuk mengikat kardus berisi oleh-oleh. Koper dan tas berisi pakaian sudah dibereskan tadi malam.

Setelah hiruk pikuk komando berlompatan dari bibir tebalnya selama satu jam, saatnya semua anggota keluarga duduk manis di meja makan. Nasi goreng, telur ceplok disiram kecap terhidang di hadapan masing-masing.

Tanpa suara, anak-anak dan aku mengurangi isi piring. Sedangkan mulut lebar istriku masih mengeluarkan gerundelan.

Diam-diam aku membawa piring-piring kosong ke dapur. Membuka kran, mengambil sabun pencuci lalu mengoleskannya pada permukaan piring.

Setelah memastikan seluruh kran sudah tertutup, aku menutup kran utama setelah meteran. Memeriksa apakah lampu-lampu telah padam. Anak-anak aku perintahkan agar pindah ke teras, menjaga tas, koper, dan barang bawaan. Pintu kamar anak-anak segera dikunci.

Kemudian memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. Tidak ada yang ketinggalan, kecuali tas kecil bawaan istriku.

Sambil menunggunya berkemas-kemas, aku kembali ke dapur. Membubuhkan sesendok teh gula, lalu kopi ke dalam cangkir. Memantik kompor sebelum meletakkan panci kecil berisi air.

Pagi itu istriku sibuk luar biasa. Memastikan semua persiapan sudah dilakukan dengan suara melengking menghambur tiada henti dari senapan otomatis. Berkunjung ke sana kemari, menemui tetangga yang tidak berencana bepergian ke luar kota dalam jangka waktu lama. Juga memberitahu pak RT.

Sistematika persiapan perjalanan ke kampung halaman yang demikian tertib. Tidak bakal ada yang terlewat. Istriku tak mau menyerahkan pekerjaan persiapan dan relasi sosial kepadaku.

Aku memang terkenal dengan sifat pendiam yang tidak pandai bergaul, dan sangat ceroboh dalam segala hal. Gampang melupakan sesuatu, kendati ia sudah merupakan prosedur standar dalam urutan kegiatan yang mesti dijalankan.

***

"Bu, Ibuk..., aku menyentuh paha istriku. Berkata pelan.

"Apaan sih?"

"Tadi, waktu Ibuk sibuk berbenah, aku sebetulnya tidak mau mengganggu."

"Terus?"

"Jadi aku mengambil sendiri, kopi dan gula di lemari."

"Terus?"

"Meraciknya. Seperti biasa yang Ibuk bikinin."

"Terus...?"

"Aku ke dapur."

"Terus....?"

"Aku ke depan, memanaskan mesin. Ketika itulah anak-anak berhamburan, berebut masuk mobil."

"Terus.....?"

"Tidak lama ibuk memintaku mengeluarkan mobil, agar pagar bisa digembok "

"Terus......??"

"Kita segera berangkat setelah itu."

"Terus.......???"

"Ya itu tadi. Kopi dan gula di dalam cangkir masih kering."

"Terus........????"

"Aku lupa menuangkan air yang sedang direbus. Mestinya saat itu telah bergolak....."

"Bapaaaakkk..........!!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun