Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa rumah mungil di Sukaluyu. Ia merupakan pilihan paling rasional di antara alternatif lain.
Lingkungan tenang berhiaskan hijauan nan asri. Ke kampus hanya berjarak sepuluh menit mengendarai sepeda motor. Ada carport yang cukup jika salah seorang, atau dua, kawan membawa kendaraan beroda empat.
Harga ditawarkan lebih murah dibanding bila biaya indekos masing-masing dijumlahkan. Benak lima perantau menetapkan kata sepakat.
Sedikit masalah adalah soal jaminan makanan. Bukan tidak ada penjual makanan di sekitarnya. Ada, tapi harganya tidak sesuai dengan ukuran kantong mahasiswa yang bukan mahasewa.
Kompor dan panci milik salah satu teman --namanya Wawan---hanya untuk menjerang air kopi. Sesekali untuk mematangkan mi instan.
Biasanya makan mi instan untuk sarapan, jika sempat. Kalau tidak, makan nasi kuning pada pagi hari di dekat kampus. Atau makan angin melupakan rasa lapar dengan mendengarkan suara dosen yang menjemukan.
Makan siang di Simpang Tigo dengan lauk tiga potong tempe goreng tipis, satu kerat rendang, daun singkong rebus atau irisan mentimun. Bermodalkan itu, nasi putih bisa tambah dua hingga tiga kali sampai tidak tersisa ruang kosong di dalam lambung. Uda pemilik rumah makan itu demikian baik hati memberikan harga murah, sebagaimana harga makanan di kantin Sekeloa.
Ada beberapa tempat makan yang menyediakan makanan sehat, bergizi, dan berharga murah di sekeliling kampus Dipati Ukur. Bandung dikenal sebagai kota kuliner dengan harga umumnya berada di bawah Jakarta, untuk makanan sejenis di tempat setara.
Asalkan jangan ke restoran yang banyak terdapat di kota kembang itu! Mereka mematok harga jual makanan untuk kantong pelancong.
Jadi masing-masing dari kami berlima biasanya telah mengenyangkan perut sebelum tiba di rumah mungil di Sukaluyu. Beberapa kali juga membawa nasi bungkus dengan banyak nasi.
Persoalan muncul ketika memasuki bulan Ramadhan.
Rata-rata kami berlima pulang sebelum waktu asar. Untuk berbuka, berangkat lagi ke sekitar Dipati Ukur. Demikian pula untuk makan sahur. Kami harus berangkat sebelum cuci muka --menghapus kantuk dan mimpi yang masih melekat-- agar kebagian makanan.
Pada waktu-waktu berbuka dan sahur kami berlima harus cepat datang ke Rumah Makan Padang Simpang Tigo, atau Kantin Sekeloa ataupun tempat makan di sekitar Dipati Ukur. Tempat makan murah tersebut senantiasa dipenuhi oleh pengunjung yang ingin menyegerakan buka puasa ataupun memperoleh makanan sahur sesuai dengan kehendaknya.
"Aku punya solusi," sahut Wawan, teman yang senantiasa mengingatkan agar segera pergi ke air ketika suara azan berkumandang. Ia mengingatkan untuk menjalankan ibadah tepat waktu.
"Memang bisa bangun dini hari?"
***
Ketika kelopak mata masih melekat, Wawan membangunkan kami berempat, menanyakan isi nasi bungkus akan dipesan. Nyawa belum semuanya berkumpul. Betapa berat mengingat-ingat makanan diinginkan
Setelah mencatat pesanan dan menerima uang, Wawan melaju dengan Suzuki A 100 membawa suara nyaring yang kian melemah. Kami berempat kembali menarik selimut. Dingin.
Rasa-rasanya baru mengatupkan mata tatkala suara heboh menghentak kesadaran kami berempat.
"Sahur! Sahur! Hayo pada bangun," seru Wawan sembari menenteng bungkusan.
Masing-masing menerima nasi dan lauk pauk dengan tulisan pada pembungkus, sesuai dengan catatan. Lengkap bersama uang kembalian.
Demikian pula menjelang waktu berbuka. Wawan berinisiatif membelikan makanan untuk menu berbuka puasa. Ia senantiasa berangkat cepat, sehingga seluruh pesanan didapat dengan lengkap. Malahan, pria baik hati itu memakai uangnya sendiri membeli takjil untuk kami berlima.
"Tidak perlu diganti! Aku bahagia manakala membelinya."
Demikianlah, kami menunaikan ibadah puasa dengan hati tenang pada awal pekan Ramadhan itu. Tidak perlu terbirit-birit dan terburu-buru menjelang matahari terbit maupun saat terbenam.
Ada Wawan yang baik hati, selalu mengingatkan untuk beribadah tepat waktu, dan tulus berlelah-lelah membeli makanan sahur juga berbuka. Teman yang rajin pada bulan Ramadhan.
Sampai suatu pagi pada suatu hari, sebuah kejadian membuat kami berempat tersentak. Rasa canggung menyeruak. Kami berempat melupakan satu perkara.
***
Minggu pagi dihiasi sinar putih kekuningan dari arah timur. Wawan mengeluarkan Suzuki A 100 kesayangan dari ruang tamu. Mengelapnya sebentar kemudian menghidupkan mesin. Knalpot standarnya mengeluarkan suara bening yang nyaring ketika berakselerasi.
Ia mengenakan setelan sangat serasi. Rapi. Juga wangi.
"Ke mana? Pagi-pagi sudah keren."
Wawan tersenyum simpul, "biasa. Mau ke Gereja. Kebaktian."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H